Thursday, April 7, 2011

UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BARANG (Studi Komparatif Ketentuan CISG dan KUH Perdata)

A. PENDAHULUAN.

Dalam konsepsi hukum perdata, perjanjian jual-beli termasuk ke dalam jenis perjanjian timbal balik yang melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka buat. Seperti pada umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas untuk menentukan bentuk dan isi jenis perjanjian yang mereka buat. Akan tetapi kebebasan dalam membuat suatu perjanjian itu akan menjadi berbeda bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas yang melibatkan para pihak dari negara dengan sistem hukum yang berbeda. Masing-masing negara memiliki ketentuan tersendiri yang bisa jadi berbeda satu dengan lainnya sehingga memungkinkan munculnya hambatan-hambatan tertentu.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dapat timbul dari keanekaragaman sistem hukum dari negara yang satu dengan negara yang lain tersebut maka komunitas perdagangan internasional membuat suatu konvensi internasional untuk mengatur perjanjian jual-beli barang internasional pada tahun 1964 yang menghasilkan The Uniform Law on the International sale of Goods 1964 dan The Uniform Law on the Formation of Contract for the International Sale of Goods 1964. Pada tahun 1980 kedua konvensi tersebut telah direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi The United Nations Convention on Contracts for the International Sale Goods (CISG). Disamping itu telah dilakukan pula amandemen terhadap Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods.[1]

Dalam perjanjian jual-beli barang dibuatlah kesepakatan-kesepakatan untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak. Perjanjian tersebut akan meliputi subyek dan obyek perjanjian, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian dan upaya hukum yang tersedia bagi para pihak apabila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut.[2]

Tulisan ini akan melakukan kajian komparatif–deskriptif mengenai perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli barang antara ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan The Untited Nations Convention on Contract for the International Sale Goods (CISG).

B. PERJANJIAN JUAL-BELI BARANG MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN CISG

1. Menurut KUH Perdata.

Dalam pasal 1457 KUH Perdata disebutkan bahwa jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jadi pengertian jual-beli menurut KUH Perdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut (Subekti, 1995: 1)[3]

Perjanjian jual-beli dalam KUH Perdata menentukan bahwa obyek perjanjian harus tertentu, atau setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak milik atas atas barang tersebut kepada pembeli. Sementara itu, KUH Perdataata mengenal tiga macam barang yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak (barang tetap), dan barang tidak berwujud seperti piutang, penagihan, atau claim.

2. Menurut CISG

Ketentuan CISG tidak memberikan definisi khusus mengenai perjanjian jual-beli barang internasional. Pasal 1 CISG hanya memberikan batasan lingkup penerapan dari ketentuan CISG tersebut. Guna menentukan pengertian perjanjian internasional, akan dikutip doktrin yang dikemukakan Martin Wolff (dalam Hamzah Rasyid, 1988: 111) bahwa contract is means an agreement between two or more parties which in accordinance with their intention, imposes a duty on at least one them, the promisor and creates for the promises a right to clain fulfillment of promises.[4]

Sedangkan pengertian perjanjian internasional menurut Sidharta Gautama dalam Hamzah Rasyid (1998: 112) adalah perjanjian-perjanjian yang mempunyai suatu foreign element.

Pasal 1 CISG menyebutkan bahwa:

(1). Konvensi CISG akan berlaku terhadap kontrak jual-beli barang antara para pihak yang tempat usahanya berada di Negara yang berlainan:

a. bilamana negara-negara tersebut adalah negara –negara peserta konvensi CISG.

b. bilamana peraturan hukum perdata international menyebabkan berlakunya hukum dari suatu negara peserta.

(2). Fakta bahwa para pihak mempunyai tempat usaha di negara-negara yang berbeda akan diabaikan bilamana ini tidak dinyatakan baik dalam kontrak maupun dalam transaksi apapun antara, atau dari dari keterangan yang diungkapkan oleh para pihak tersebut setiap saat sebelum atau pada saat penyelesaian kontrak tersebut.

(3). Baik kebangsaan para pihak tersebut, maupun sifat perdata atau perdagangan dari para pihak ataupun dari kontrak tidak akan dipertimbangkan dalam menentukan berlakunya konvensi.

Dari rumusan pasal 1 CISG dapat dilihat bahwa perjanjian yang dimaksud harus memiliki karakter internasional sebagaimana kriteria dalam pasal1 ayat 1 CISG.

Mengenai barang, CISG juga tidak mendefinisikan secara langsung tetapi memberi batasan tentang barang yang dikecualikan oleh CISG.

Pasal 2 CISG menentukan bahwa:

Konvensi CISG tidak berlaku terhadap jual-beli:

a. Barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah, kecuali penjual, setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui atau tidak mengetahui atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah untuk keperluan tersebut diatas;

b. melalui lelang;

c. melalui eksekusi atau karena wewenang hukum ;

d. obligasi, saham, investmen securities, kertas berharga, atau uang;

e. kapal, kendaraan terapung, hoverecraft atau pesawat terbang;

f. listrik.

Dari rumusan pasal 2 CISG nampak bahwa konvensi CISG hanya diterapkan pada barang bergerak dan barang berwujud kecuali yang disebut diatas. Transaksi mengenai benda tidak bergerak, lebih bersifat domestik daripada international.

C. UPAYA HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI BARANG MENURUT KETENTUAN CISG DAN KUH PERDATA

Dalam CISG upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam hal terjadi sengketa pada pelaksanaan perjanjian dibagi dalam tiga kategori yaitu dalam hal breach of contract, fundamental contract, dan anticipatory breach. Dalam KUH Perdata upaya hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual-beli diatur dalam pasal 1236-1243 KUH Perdata dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus yang masing-masing memiliki konsekuensi dan durasi pengajuan gugatan yang berbeda. Sedangkan gugatan ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUH Perd.

Upaya Hukum dalam Breach of Contract.

a. Bagi Pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG dan 74-77 CISG.

1. Pembeli berhak meminta penjual untuk melakukan penyerahan barang.

2. Pembeli berhak meminta barang pengganti dan ganti rugi.

3. Pembeli berhak meminta pembatalan perjanjian.

4. Pembeli berhak meminta penurunan harga.

b. Bagi Penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG dan 74-77 CISG.

1. Penjual berhak meminta pelaksanaan perjanjian pada pembeli untuk membayar harga, menerima penyerahan barang dan menentukan perpanjangan waktu untuk melakukan kewajiban.

2. Penjual berhak meminta pembatalan perjanjian.

3. Penjual berhak meminta ganti rugi termasuk kehilangan keuntungan (pasal 74-77 CISG).

Upaya–upaya hukum yang diatur dalam CISG saling berkaitan. Hak untuk pemulihan kerugian sebagaimana diatur dalam pasal 74-77 CISG tidak hilang bila para pihak menggunakan upaya hukum lainnya .[5]

Upaya Hukum dalam Fundamental Breach.

Pasal 25 CISG menegaskan pengertian dari fundamental breach sebagai berikut: Suatu pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak akan bersifat mendasar apabila pelanggaran ini akan menimbulkan kerugian pada pihak lainnya sedemikian besarnya sehingga tidak memungkinkan untuk memperoleh apa yang diharapkan menurut perjanjian tersebut, kecuali pihak yang melakukan pelanggaran tersebut memang tidak dapat memperkirakan sebelumnya terjadinya hal tersebut, maupun siapapun lainnya dalam keadaan yang sama seperti dirinya akan secara wajar tidak dapat memperkirakan akibatnya yang demikian.

Sebagai akibat hukum dari fundamentum breach masing-masing pihak dapat meminta pembatalan perjanjian vide pasal 26 CISG.

Upaya Hukum dalam Anticipatory Breach.

1. Para Pihak Berhak Meminta Penundaan Pelaksanaan Perjanjian.

Berdasarkan pasal 71 CISG, baik-penjual maupun pembeli dapat menunda pelaksanaan kewajiban apabila pihak lawan tidak melaksanakan suatu bagian penting dari kewajibannya sebagai akibat dari suatu kekurangan atas kemampuan pelaksanaan kewajiban atau kebonafiditasnya atau atau perbuatannya dalam mempersiapkan pelaksanaan atau pelaksanaan perjanjian tersebut.

2. Para Pihak Berhak Meminta Pembatalan Perjanjian.

Menurut pasal 72 CISG apabila sebelum tanggal penyerahan kontrak telah menjadi jelas bahwa salah satu pihak akan melakukan suatu pelanggaran yang mendasar terhadap perjanjian maka pihak lainnya dapat menyatakan perjanjian sebagai dibatalkan dengan pemberitahuan.

Dalam hal penyerahan barang secara angsuran adanya kegagalan pihak lawan untuk melaksanakan kewajibannya merupakan suatu pelanggaran mendasar dan karena itu dapat dimintakan pembatalan perjanjian. Namun demikian menurut CISG, tindakan avoidance tidak diberlakukan untuk seluruh isi perjanjian. Berdasarkan ketentuan pasal 81 CISG, avoidance tidak berlaku atas ketentuan mengenai sengketa, ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat avoidance, dan pihak yang telah melaksanakan perjanjian baik secara keseluruhan atau sebagian berhak menuntut ganti kerugian.

Dalam perjanjian obligatoir, senantiasa terdapat kewajiban yang harus dipenuhi oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. Pihak yang berhak menuntut disebut pihaak berpiutang atau kreditor dan pihak yang berwajib memenuhi tuntutan disebut sebagai pihak berhutang atau debitor. Sebaliknya, sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan istilah prestasi.

Prestasi dalam KUH Perdata dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Jika seorang debitor tidak memenuhi kewajibannya, menurut hukum debitor tersebut dikatakan wanprestasi yang menyebabkannya dapat digugat di depan hakim. Subekti (1990: 45) mengklasifikasi tindakan wanprestasi menjadi empat macam, yaitu:

a. tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan;

b. melaksanakan apa yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;

c. melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Adapun Pitlo (1988: 55) berpendapat bahwa wanprestasi itu dapat terjadi jika debitor mempunyai kesalahan. Kesalahan adalah adanya unsur kealpaan atau kesengajaan. Kesengajaan terjadi jika debitor secara tahu dan mau tidak memenuhi kewajibannya. Kealpaan terjadi jika debitor dapat mencegah penyebab tidak terjadinya prestasi dan debitor dapat disalahkan karena tidak mencegahnya. Demikian seorang dapat dinyatakan wanprestasi manakala yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya unuk memenuhi prestasi dan tidak terlaksananya kewajiban tersebut karena kelalaian atau kesengajaan. Van Dume (1989: 31) menyatakan bahwa apabila terjadi wanprestasi, maka kreditor yang dirugikan dari perikatan timbal-balik mempunyai beberapa pilihan atas berbagai macam kemungkinan tuntutan, yaitu:

a. menuntut prestasi saja;

b. menuntut prestasi dan ganti rugi;

c. menuntut ganti rugi saja;

d. menuntut pembatalan perjanjian;

e. menuntut pembatalan perjanjian dan ganti rugi.

Hal tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kreditor, agar dapat mempertahankan kepentingan terhadap debitor yang tidak jujur. Namun demikian, hukum jugaa memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi debitor yang tiddak memenuhi kewajibannya, jika hal itu terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian. Subekti mengemukakan bahwa seorang debitor yang dinyatakan wanprestasi masih dimungkinkan untuk melakukan pembelaan berupa:[6]

a. mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa;

b. mengajukan bahwa kreditor sendiri juga telah lalai;

c. mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

Ketentuan mengenai keadaan memaksa tersebut dalam KUH Perdata dapat ditemui dalam pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Kedua pasal itu dimaksudkan untuk melindungi pihak debitor yang telah beritikad baik.

Namun demikian, Pitlo (1988: 65) menegaskan bahwa jika debitor telah melakukan wanprestasi, maka debitor tidak dapat lagi membebaskan diri dengan dasar keadaan memaksa yang terjadi setelah debitor debitor ingkar janji.

Halangan debitor untuk melaksanakan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa secara teoritis dapat dibedakan antara keadaan memaksa mutlak dan tidak mutlak. Prodjodikoro (1989: 56) menyatakan bahwa keadaan memaksa absolut terjadi keadaan itu menyebabkan janji sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun dan bagaimanapun. Keadaan memaksa tidak mutlak terjadi apabila pelaksanaan janji masih mungkin tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari pihak yang berwajib sedemikian rupa sehingga patutlah bahwa kewajiban untuk melaksanakan janji itu dianggap tidak ada atau lenyap.

D. PENUTUP.

1. KESIMPULAN.

Dalam perjanjian obligatoir seperti perjanjian jual-beli senantiasa terdapat suatu kewajiban oleh salah satu pihak dan kewajiban tersebut merupakan hak yang pemenuhannya dapat dituntut oleh pihak lain. CISG maupun KUH Perdata masing-masing memberikan beberapa upaya hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam hal terjadi pelanggaran atas perjanjian jual-beli, yaitu:

a. meminta pelaksanaan perjanjian;

b. meminta pembatalan perjanjian;

c. meminta ganti kerugian termasuk kerugian akibat kehilangan keuntungan.

Dalam CISG, masih dikenal upaya hukum yang lain yaitu penundaan pelaksanaan perjanjian yang dapat diminta oleh salah satu pihak atas pihak lainnya apabila terjadi anticipatory breach sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 dan 72 CISG. Secara garis besar, upaya hukum dalam perjanjian jual-beli menurut CISG adalahsebagai berikut.

a. Dalam hal breach of contract :

· upaya hukum bagi pembeli diatur dalam pasal 45-52 CISG .

· upaya hukum bagi penjual diatur dalam pasal 61-65 CISG..

b. Dalam hal fundamental breach :

· upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 26 CISG.

c. Dalam hal anticipatory breach :

· upaya hukum bagi penjual dan pembeli diatur dalam pasal 71 dan 72 CISG.

· Sementara itu, ketentuan untuk ganti kerugian bagi para pihak diatur dalam pasal 74-77 CISG.

Dalam KUH Perdata, upaya hukum bagi penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli diatur dalam Buku III. Dalam hal terjadi wanprestasi dan wanprestasi khusus terdapat ketentuan pasal 1266-1243 dan dalam hal ganti kerugian diatur dalam pasal 1243-1252 KUH Perdata.

2. SARAN.

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian jual-beli internasional dalam CISG maypun perjanjian dalam KUH Perdata menganut sistem terbuka dimana para pihak bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian (vide pasal 6 jo pasal 12 CISG dan pasal 1338 KUH Perdata). Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam CISG maupun KUH Perdata dapat dipilih sebagai dasar hukum dari perjanjian yang dibuat para pihak atau sebagai pelengkap jika para pihak menentukan sendiri bentuk dan isi perjanjiannya. Oleh karena itu para pihak sepatutnya memperhatikan bentuk dan isi perjanjian secara detail termasuk ketentuan yang mengatur tentang sengketa diantara mereka. Ketentuan tersebut sangat urgen untuk menjamin kepentingan hukum mereka dan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kerugian yang akan timbul jika terjadi pelanggaran perjanjian.

DAFTAR REFERENSI

Ester Dwi Maghfirah, Upaya Hukum Bagi Para Pihak dalam Jual Beli Barang; Makalah 2003

Hamzah Rasyid, "Kontrak dalam Jual-Beli Barang Internasional" dalam Seri Dasar : 1998

Hukum Ekonomi: Jual-Beli Barang secara Internasional, ELIPS dan

FH-UI, Jakarta.

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta: 1990.

Subekti, Aneka Perjanjian, Cipta Aditya Bakti, Bandung: 1995.

The United Nations Convention on Contract for International sale Goods (CISG).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.



[1] Ester Dwi Maghfirah, Upaya Hukum Bagi Para Pihak dalam Jual Beli Barang; Makalah dalam http.// www. solusihukum.com

[2] Ibid

[3] Subekti 1995, Aneka Perjanjian, Cipta Aditya Bakti, Bandung. Hlm. 1

[4] Hamzah Rasyid, 1998, "Kontrak dalam Jual-Beli Barang Internasional" dalam Seri Dasar. Hlm. 111

[5] Lihat The United Nations Convention on Contract for International sale Goods (CISG). Pasal 74-77

[6] Subekti, Lok.cit. Hlm. 55

No comments:

Post a Comment

Silahkan berpendapat

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547