Monday, April 25, 2011

PENDIDIKAN ISLAM: SEBUAH PENGANTAR


Pendidikan bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku dari yang tidak diharapkan ke arah tingkah laku yang lebih mulia. Pendidikan pada dasarnya juga merupakan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang berlangsung pada suatu lingkungan tertentu, yang biasanya disebut dengan interaksi pendidikan yakni hubungan saling mempengaruhi di antara pendidik dan peserta didik.
Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk menumbuhkan serta mengembangkan potensi ke arah yang positif. Pendidikan bukan semata-mata mengembangkan ranah kognitif tetapi harus pula mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik. Dalam arti konkret pendidikan harus mengembangkan pengetahuan, kepribadian dan keterampilan.
Sebelum membahas tentang definisi pendidikan Islam, terlebih dahulu akan dibahas apa itu pendidikan. Menurut M.J. Langeveld; “Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan”. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah.[1]
M. Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yang melingkupi seluruh aspek yang ada, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[2]
Adapun menurut Tadjab, secara sederhana pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang dilaksanakan dengan bersumber dan berdasar atas ajaran agama Islam yang sumbernya berasal dari Al Qur’an dan Hadits. Karena itu, untuk merumuskan konsep pendidikan yang dikehendaki oleh Islam seseorang haruslah merujuk kepada keduanya.[3]
Adapun para pakar pendidikan Islam mencoba membuat rumusan definisi mengenai pendidikan Islam, diantaranya:[4]
1.  Omar Mohammad al-Toumy al-Saibany, Pendidikan adalah usaha mengubah tingkah laku individu manusia dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan dalam kehidupan alam sekitarnya melalui proses pendidikan.
2.  Muhammad Fadlil al-Jamali, Pendidikan adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar dan kemampuan ajarnya.
3.  Hasan Langgulung, Pendidikan Islam adalah suatu proses spritual, akhlak, intelektual dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan untuk mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.
Dengan demikian pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial untuk mengarahkan potensi baik yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kehidupan di dunia dan akhirat.
Dalam konteks pendidikan Islam dikenal tiga istilah yaitu; al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim.[5] Yang paling populer dari ketiga istilah tersebutadalah al-tarbiyah. Sedangkan dua term lainnya jarang sekali digunakan. Pada prinsipnya setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Kendatipun demikian dalam hal-hal tertentu, ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Berikut akan disampaikan sedikit uraian dan analisis terhadap ketiga terma tersebut:
1. Istilah al-Tarbiyah
Dalam kamus bahasa Arab, kita akan menemukan beberpapa akar dari kata tarbiyyah. Pertama¸raba-yarbu yang berarti bertambah dan berkembang (QS. Ar-Ruum[30]: 39).  Kedua, rabiya-yarba, yang berarti khafiya-yakhfa, yaitu tumbuh dan berkembang, atau menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu, berarti madda-yamuddu, yaitu memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga, memelihara dan memperhatikan.
Kata rabb sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Fatihah [1]: 2 (alhamdu li Allahi rabb al-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi dengan istilah al-Tarbiyah. Karena kata rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) berasal dari akar kata yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah Pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.
Proses pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai pendidik seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fitrah anak menjelang dewasa (baligh). (2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. (3) mengembangkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. (4) melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Dari pengertian at-tarbiyah di atas  dapat kita ambil beberapa poin pokok yang penting untuk dipahami, yaitu:
a.      Pendidikan merupakan kegiatan yang mempunyai tujuan, sasaran, dan target;
b.      Pendidik yang sejati dan mutlak adalah Allah SWT. Dialah pencipta fitrah, pemberi bakat, pembuat berbagai sunnah perkembangan, peningkatan, dan interaksi fitrah;
c.      Pendidikan menuntut terwujudnya program berjenjang melalui peningkatan kegiatan pendidikan dan pengajaran selaras dengan urutan sistematika menanjak yang membawa anak dari suatu pekemabangan ke perkembangan lainnya
d.      Peran seorang pendidik harus sesuai dengan tujuan Allah SWT yang menciptakannya. Artinya pendidik harus mengikuti syariat agama Allah.
2. Istilah al-Ta’lim
Istilah al-Ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-Ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat yang artinya: Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah : 151).
Kalimat wa yu’allimu hum al-kitab wa al-hikmah dalam ayat tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah Saw mengajarkan tilawat al-Quran kepada kaum Muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rasul bukan hanya sekedar membuat umat Islam bisa membaca, melainkan membawa kaum Muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat untuk diketahui. Oleh karena itu, makna al-Ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriah, akan tetapi mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan, perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk berperilaku.[6]
Kecenderungan Abdul Fattah Jalal sebagaimana dikemukakan di atas, didasarkan pada argumentasi bahwa manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah adalah Nabi Adam as. Hal ini secara eksplisit disinyalir dalam Q.S Al Baqarah/2: 31. Pada ayat tersebut dijelaskan, bahwa penggunaan kata ‘allama untuk memberikan pengajaran kepada Adam as memiliki nilai lebih yang sama sekali tidak dimiliki para malaikat. Dalam argumentasi yang agak berbeda, istilah al-ilmu (sepadan dengan al-ta’lim) dalam Al Quran tidak terbatas hanya berarti ilmu saja. Lebih jauh kata tersebut dapat diartikan ilmu dan amal.
3. Istilah al-ta’dib[7]
Menurut al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Konsepsi ini didasarkan kepada hadist Nabi yang artinya:
“Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. al-‘Askary dari Ali r.a). Hadits di tersebut menggunakan kata addaba yang dimaknai oleh al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadits tersebut bisa dimaknai kepada Tuhanku telah membuatku mengenali dan membuatku dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah pengakuan dan pengenalan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta sebagai akibatnya Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik.
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia tentang tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiaannya.[8]
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontinyu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang harus diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran agar manusia senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya. Dari sini dapat diambil suatu benang merah bahwa Pendidikan dalam perspektif  Islam sangat penting agar manusia senantiasa berjalan ke arah kebaikan dan terhindar dari kejahatan atau keburukan.
Menurut Hamdani Ali, tujuan pendidikan Islam dalah untuk membuat manusia mau mengabdikan dirinya kepada Allah tanpa harus melupakan kebutuhan duniawinya. Adapun Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany merumuskan tujuan pendidikan terdiri atas: (1). tujuan individual yaitu pembinaan pribadi muslim yang berpadu pada perkembangan dari segi spiritual, jasmani, emosi, intelektual, dan sosial, (2). tujuan sosial yaitu tujuan yang berkaitan dengan bidang spiritual, kebudayaan dan sosial kemasyarakatan.[9]
Menurut Imam Al-Gazali (w.1111 M) sebagaimana disimpulkan oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, pada dasarnya tujuan pokok pendidikan Islam adalah: (1) untuk mencapai kesempurnaan manusia dalam mendekatkan diri kepada Tuhan; dan (2) sekaligus untuk mencapai kesempurnaan hidup manusia dalam menjalani hidup dan penghidupannya guna mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[10] Mengutip Sayyid Qutb, bahwa sesungguhnya tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang yang baik (al-insan al-shalih) yang sudah pasti bersifat universal dan sudah pasti diakui semua orang dan semua aliran tanpa memperosalkan di mana pun negerinya dan apapun agamanya. Banyak sekali sebetulnya apa yang dikemukakanoleh para ahli muslim tapi kesemuanya pada esensinya sama, yaitu bermuara pada pengakuan bahwa pendidikan itu juga dimaksudkan untuk menyempurnakan akhlaq manusia.
Affandi Mochtar merumuskan tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun peradaban manusia yang didukung oleh pribadi-pribadi yang bermutu. Sedangkan lebih lanjut, Barmawy Umary menegaskan bahwa pendidikan Islam bertujuan membentuk anak didik menjadi seorang yang berilmu sempurna, berakhlak mulia, beramal shalih dan berjiwa besar. Tujuan pendidikan Islam lainnya yaitu untuk membimbing manusia menuju kebaikan dan kesempurnaan lahir batin, dunia dan akhirat.[11] Karena itu, secara garis besar, pendidikan seharusnya bertujuan mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan dan pengkondisian kegiatan kognitif, afektif dan psikomotorik. Untuk maksud tersebut, pendidikan seharusnya bertujuan: (1). Membentuk manusia beraqidah (tarbiyah ‘aqidiyah) (2). Membentuk manusia beraklak mulia (tarbiyah khuluqiyah) (3). Membentuk manusia berfikir (tarbiyah fikriyah) (4). Membentuk manusia sehat dan kuat (tarbiyah jismiyah) (5). Membentuk manusia kreatif, inisiatif, antisipatif, dan responsive (tarbiyah amaliyah)



[1] Abdul Khaliq. Hakikat Pendidikan Islam. 2006. Makalah dalam http://khaliqida.blogspot.com
[2] Azumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 5
[3] Tadjab, Perbandingan Pendidikan,(Surabaya: Karya Abditama, 2000) hal, 55-56
[4] Abdul Khaliq. Hakikat Pendidikan ……
[5] Sayyed Naquib Alattas, Aims an Objectieves of Islamic Education,(Jeddah: King Abdul Aziz University, 1977) sebagaimana dalam Azumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 5
[6] Kemas Badarudin, Filsafat Pendidikan Islam; Analisis Pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Al Naquib Al-Attas,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 62-63
[7] Ibid
[8] Ibid.
[9] Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, Falsafatul Tarbiyah Al-Islamiyah, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989) hal. 444-465
[10] Ibid. hal 20
[11] Zulkarnain, Transformasi Nilai-nilai Pendidikan Islam; Manajemen berorientasi Link and Match, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 21

Sunday, April 24, 2011

PEMAKNAAN TERHADAP FENOMENA IBADAH HAJI


PEMAKNAAN  TERHADAP FENOMENA IBADAH HAJI
 Studi atas karya William R. Roff
“Pendekatan Teoritis terhadap Haji”

Hanung Hisbullah Hamda


A. Latar Belakang
Rukun Islam sebagaimana diyakini oleh kalangan sunni terdiri atas lima perkara. Yang pertama dan yang paling besar adalah syahadat yang merupakan persaksian seorang hamba bahwa tidak ada sesembahan yang haq untuk disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya. Kemudian rukun-rukun Islam selanjutnya adalah shalat, zakat, puasa Ramadlan dan Haji ke Baitullah al Haram bagi siapa saja yang memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menyelenggarakan perjalanan kesana.[1]
Dari kelima rukun Islam di atas, empat yang pertama biasa diulang-ulang oleh umat Islam sebagai sebuah ritual yang rutin. Sedangkan haji pada prinsipnya hanya cukup dilakukan sekali dalam seumur hidup seorang muslim.[2]
Secara bahasa, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Kata ‘haji’ mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji adalah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu menurut syarat dan rukun tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi di atas, selain Ka'bah, Safa dan Marwah, juga Arafah, Muzdalifah, serta Mina. Adapun waktu tertentunya adalah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mabit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain[3]
Puncak ibadah haji ini dilakukan oleh kaum muslimin pada bulan Dzulhijjah, bertempat di kota Makkah dalam setiap tahunnya kaum muslimin dianjurkan untuk melakukan ibadah ini, bagi yang mampu. Karena merasa terpanggil mereka secara suka rela berbondong-bondong munuju kota Makkah untuk melakukan ritual ini, sehingga di setiap musim haji bisa dilihat sebuah fenomena unik dimana jutaan orang bisa berkumpul dalam satu tempat dalam rangka menyelenggaranakan ritual haji. Fenomena inilah yang menarik perhatian William R. Roff untuk melakukan pengkajian teoritis terhadap haji.
William R. Roff menganggap sangat perlu melakukan pengkajian terhadap haji karena menurut dewasa ini hanya terdapat sedikit usaha dikalangan ahli agama-agama untuk membuat kategori-kategori analitis-sosiologis, psikologis, materialis, antropologis, atau yang lainya, untuk menjelaskan fenomena keagamaan atau menunjukan makna fenomena tersebut bagi orang lain. William R. Roff mencoba untuk menemukan beberapa cara untuk menggambarkan ekspresi dari para pemeluk agama dengan pendekatan teoritis yang ia tuangkan dalam tulisannya yang berjudul Pendekatan Teoritis terhadap Haji.
Tulisan William R. Roff yang berjudul Pendekatan Teoritis terhadap Haji tersebut sebenarnya kalau ditinjau dari kacamata seorang ilmuwan muslim tidaklah mampu menggambarkan ritual haji dan makna fenomena haji secara komprehensif sebagaimana yang telah mereka dapatkan dalam khasanah klasik. Tetapi mengingat  William R. Roff adalah seorang orientalis yang melihat Islam dari kaca mata Barat maka upaya toritisnya untuk mencoba menemukan beberapa cara dalam rangka menggambarkan ekspresi dan pemaknaan para muslim terhadap fenomena ibadah haji menjadi menarik untuk dikaji.

B. Rumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
            Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, maka untuk membawa agar tulisan ini menjadi lebih fokus pembahasannya di buatlah rumusan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah pemaknaan  fenomena ibadah haji menurut William R. Roff? Apakah pemaknaan fenomena ibadah menurut William R. Roff sebagai seorang orientalis sejalan dengan pemaknaan menurut ilmuwan-ilmuwan Islam?
            Berdasarkan perumusan permasalahan tersebut maka dapat dijelaskan bahwa tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengetahui pemaknaan  fenomena ibadah haji menurut William R. Roff. Sekaligus menjelaskan apakah pemaknaan fenomena ibadah menurut William R. Roff sebagai seorang orientalis sejalan dengan pemaknaan menurut ilmuwan-ilmuwan Islam.

C. Urgensi Kajian
Adapun urgensi atau arti pentingnya kajian penulisan ini adalah untuk memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi umat manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan. Secara rinci kemanfaatan yang di harapkan dapat diperinci sebagai berikut:
1.       Bagi masyarakat
            Hasil penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat terpublikasikan secara luas, terutama bagi mereka yang ingin mempelajari persoalan-persoalan interpretasi fenomena ibadah haji menurut kacamata orientalis sehingga mereka dapat memperoleh gambaran dan informasi yang tepat.
2.       Bagi akademisi
            Sebagai kontribusi positif bagi para akademisi untuk mengetahui lebih jauh tentang persoalan-persoalan haji di tinjau dari perspektif Islam dan perspektif orientalis
3.       Bagi ilmu pengetahuan
            Karya tulis ilmiah ini diharapkan memiliki manfaat contribution to knowledge, mempunyai nilai kontributif bagi pengembangan keilmuan serta dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan penulisan karya tulis selanjutnya.

D. Telaah Pustaka
Di era modern ini banyak penulis-penulis kontemporer yang berusaha mengulas ibadah haji secara komprehensif dan menggunakan pendekatan yang beragam pula. Selain yang ditulis oleh William R Roff, sebenarnya banyak tulisan-tulisan lain yang mencoba untuk menganalisa hikmah ataupun makna yang terkandung dalam ritual ibadah haji . Sebagai contoh adalah tulisan Abul A’la Al Maududi yang terjemahannya berjudul Prinsip-prinsip Islam. Dalam karyanya ini, Abul A’la Al Maududi menganggap bahwa ibadah haji adalah ibadah kepada Allah yang paling penting dan paling besar kedudukannya. Sebab seseorang yang pergi mengadakan perjalanan ke Baitullah tujuannya jauh berbeda dengan perjalanan-perjalanan lainnya yang pernah ia lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utamanya yaitu hanyalah Allah sebagai satu-satunya yang dirindukan. Kemudian ketika seseorang tersebut menginjakkan kakinya di bumi Hijaz maka ia akan merasakan dan menyaksikan bukti-bukti sejarah Islam yang mula-mula.[4]
Abul A’la Al Maududi menjelaskan bahwa dalam fenomena ibadah haji terdapat banyak kemanfaatan baik duniawi maupun ukhrawi. Diantaranya adalah keberadaan Makkah sebagai sentral markas besar umat Islam seluruh dunia dimana seluruh muslim dari berbagai belahan bumi mencintai kota itu. Haji inilah yang memiliki fungsi besar untuk membentuk dan mendidik persaudaraan Islam sedunia meskipun mereka berasal dari ras, suku, dan bangsa yang berbeda.[5]
Tulisan lain yang juga mencoba menggali makna pelaksaan ibadah haji yang dilakukan umat Islam adalah karya Sa’id Hawwa dalam bukunya yang berjudul Al Islam: Tindak Lanjut Syahadatain. Ia menjelaskan bahwa haji adalah sejumlah simbol yang terbentuk dari berbagai amalan. Simbol penyerahan total seorang hamba kepada Allah. Sehingga dalam menjalankan perintah-Nya seseorang tidak perlu lagi tahu makna dan hikmahnya sebagai bentuk penyerahan tanpa syarat. Haji juga dianggap sebagai simbol kesinambungan ummat ini dengan bapaknya, Ibrahim As. Selain itu, haji merupakan manifestasi dari persatuan ummat Islam tanpa memandang ras, suku, kabilah, maupun warna kulit. Haji adalah madrasah untuk pendidikan moral karena di sana sangat dibutuhkan sebuah kesabaran level tinggi. Haji mampu menghadirkan perasaan dan sikap jiwa yang santun, membangkitkan rasa kasih sayang terhadap sesama hamba.[6]
Adapun Nasruddin Razzaq di dalam bukunya, Dienul Islam, menjelaskan bahwa ibadah haji sebagai sebuah fenomena keagamaan mengandung nilai-nilai historis yang fundamental. Wukuf di arafah sebagai manasik haji terpenting selain dapat menghadirkan rasa terharu yang dalam juga memberikan keinsafan insani sebagai hamba yang kerdil di hadapan Allah. Dengan keseragaman pakaian ihram yang putih melambangkan persamaan derajat manusia tanpa mengenal perbedaan ras, kasta, warna kulit, dan sebagainya. Kaya dan miskin tidak ada bedanya, begitu pula apakah ia seorang raja atau rakyat jelata tidak ada sekat yang membedakan di mata Allah kecuali nilai ketaqwaan masing-masing. Ketika seseorang memasuki Makkah dan Madinah ia dihadapkan kepada tempat-tempat dimana Rasulullah pernah bangkit dan berjuang menegakkan Islam dengan jiwa raga, harta, dan segala semangat juang yang ada.  Sehingga seakan-akan ia ikut merasakan peristiwa-peristiwa yang telah dijalani Muhammad dan para sahabatnya.[7]
Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Al ‘Arusi dalam bukunya, Menuju Islam yang Benar, telah menjelaskan tentang haji dan manfaat besar yang ada di dalamnya. Tulisannya dimulai dengan pemaparan dalil-dalil qur’aniah yang menunjukkan wajibnya ibadah haji. Ia juga menekankan bahwa ritual haji merupakan bentuk penghormatan terhadap Ibrahim As. Dalam ibadah haji ini seorang muslim dibimbing untuk mengambil ibrah dari perjalanan Ibrahim, di samping perjalanan nabi Muhammad tentunya. Setelah itu pembahasannya disitematisir untuk menjelaskan tentang tata urutan pelaksanaan haji dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalam setiap manasiknya.[8]
Adapun tulisan-tulisan klasik yang berbicara tentang ritual haji jumlahnya mencapai ratusan. Hampir semua kitab-kitab fiqih klasik dalam empat madzab sunni telah menjelaskan secara rinci tentang pengertian, tata cara, syarat, rukun, hal-hal wajib dalam haji, hikmahnya, dan sebagainya.
Para sarjana orientalis di Barat pun juga banyak yang sudah membahas tentang seputar ritual haji, seperti yang dilakukan oleh Cantwell Smith, Jacques Waardenburg, Hurgronje, Wensink, Arnold Van Genep dan Victor Turner. Yang membuat tulisan William R. Roff ini berbeda dan layak untuk dikaji pemikirannya adalah karena ruanglingkup pembahasan adalah fokusnya pada fenomena ibadah haji yang ia jelaskan secara teoritis dengan memakai teori Van Gennep dan Turner yang disebut dengan rites de passage.

E. Metode Penelitian
Agar pembahasan dan penulisan dalam karya tulis ilmiah ini akurat dan terarah maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1.       Obyek Penelitian

Adapun yang menjadi obyek dalam kajian ini adalah Pemaknaan  Terhadap Fenomena Ibadah Haji: Studi Atas Karya William R. Roff Yang Berjudul Pendekatan Teoritis Terhadap Haji

2.       Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan ada tiga jenis, yaitu data primer yang berupa tulisan William R Roff sendiri dan buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan tema pembahasan. Data sekunder, yaitu berupa keterangan dan informasi dari hasil-hasil penelitian orang lain tentang pemaknaan dan hakekat ibadah haji. Data tersier, yaitu berupa kamus istilah, ensiklopedi dan sumber-sumber lain yang dapat mempermudah penulis untuk mencari data primer dan skunder.
3.  Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka atau juga dikenal dengan istilah studi dokumen  (library research) .

4.   Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan historis dan sosiologis, yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah dan kondisi empiris para pelaku ibadah haji yang kemudian digunakan untuk menganalisa pemaknaan terhadap fenomena ibadah haji.

5.   Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis kualitatif. Selanjutnya keseluruhan hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk deskriptif.

F. Telaah William R Roff terhadap Fenomena Haji
1. Fenomena Haji Perspektif William R Roff
Prof. William Roff adalah seorang ahli sejarah Islam Asia Tenggara di Edinburgh, Scotlandia dan mantan profesor di Columbia. Ia tertarik untuk mengangkat haji sebagai bahan kajian akademik dengan maksud untuk menganalisis makna keagamaan yang terdapat di dalamnya. Untuk maksudnya tersebut, William R Roff menggunakan kerangka teori yang diambil dan dirujuk dari penelitian terdahulu mengenai ritual suatu masyarakat yang dilakukan oleh Arnold van Gennep dalam rites de passage[9] dan  dari teori liminalitas Victor R. Turner mengenai ritual yang ada di suku Ndembu, Zambia. Dengan berpijak dari dua teori itu William R Roff membuat satu analisis baru mengenai haji.
Yang membuat William R Roff tertarik untuk mengkaji lebih lanjut adalah karena didasari oleh sedikitnya teori dan metodologi ilmu-ilmu sosial dalam melihat fenomena keagamaan khususnya haji. Disamping itu William R Roff menganggap bahwa tokoh-tokoh agama sangat kurang dalam membuat analisis dan mengkategorikannya yang tentunya hal itu akan bermanfaat dalam menjelaskan fenomena keagamaan. Menurut William R Roff dalam menjelaskan makna fenomena keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek prilaku sosial, perlu adanya alat analisis yang relevan dengan fenomena tersebut, karena hal itu akan memudahkan mencari makna dari ritual tersebut, dan menginformasikan secara spesifik fungsi sosial dari praktek ritual yang diteliti.
Penelitian William R Roff ini menggunakan pendekatan fenomenologi, dengan metode vestehn[10] yang diterapkan untuk memahami gagasan dan perasaan orang atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik kebudayaan. Dalam kasus ritual haji, William R Roff telah menelusuri dan memahami secara mendalam makna-makna dibalik simbol-simbol perbuatan yang diekspresikan oleh seseorang atau masyarakat dalam ritus, dengan pola yang general dan pola partikular.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, William R Roff menganalisa fenomena haji dengan mengunakan kerangka teori dari Arnold van genap, Ritus de Passage dan Teori Turner tentang liminalitas. Kedua teori ini digunakan untuk menganalisis rangkaian ritus haji, dan prilaku kaum muslim haji sendiri. Artinya pelaksanaan ibadah haji pun diasumsikan sama dengan ritus-ritus agama lain yang terdiri atas tiga struktur dan tahapan dari ritus de passege yaitu; pra pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan; atau pemisahan (separation), transisi (transition) dan kebersamaan (agregation).
 Menurut William R Roff, dalam masa persiapan ibadah haji telah terjadi pemisahan (sparation) secara simbolik antara calon jamaah haji dengan masyarakat dimana dia tinggal. Seorang calon haji ketika hendak berangkat harus melepas diri dari masa lalunya, bahkan pelepasan haji yang sering terjadi di Indonesia misalnya cenderung layaknya pamitan yang bersifat testamental atau seakan-akan ada kemungkinan besar bahwa calon haji bisa menjumpai kematian dalam haji. Seorang calon haji biasanya juga minta maaf kepada sanak keluarga, relasi tetangga dan masyarakat sekitar. Sering pula sebelum berangkat di rumah calon haji diadakan acara selamatan untuk mendoakan calon haji agar selamat dalam perjalanan hingga kembali pulang serta mampu menjadi haji yang mabrur. Ringkasnya bahwa pada tahap pra pelaksanaan haji semua ritualnya dimaknai oleh calon haji sebagai bentuk perpisahan terhadap masyarakat dan lingkungan serta perpisahan dengan masa lalu, dengan segala hal yang profan, bahkan seakan-akan perpisahan layaknya menuju alam yang lain. Seorang calon haji harus pula melepaskan dirinya dari kehidupan masa lalunya dan mengambil jarak dengan semangat untuk mensucikan diri.
Tahap selanjutnya adalah transisi, atau liminasi (pelaksanaan) bermula ketika beribadah haji mulai dilaksanakan, para jamaah haji memakai pakaian ihram di miqat, membaca talbiyah dan melakukan ritual secara bersama-sama. Kegiatan komunitas secara bersama-sama ini, menurut Turner menyimbulkan “suatu keterikatan yang muncul secara spontan dan dibangun secara normatif di antara manusia yang sejajar dan seimbang, bersifat total dan terindividualkan, lepas dari atribut-atribut struktural.”
Tahap yang terakhir adalah pasca pelaksanaan, atau tahap kebersamaan (aggregates) terjadi ketika jamaah haji pulang ke negara atau tempat asal masing-masing. Mereka biasanya berbeda penampilan lahiriyahnya, dan disertai dengan gelar Pak Haji, Bu Haji atau Mbah Kaji. Disinilah menurut Turner seorang haji mendapatkan posisi dan keadaan baru di dalam masyarakat.
Turner menjelaskan bahwa dalam menggali makna yang terkandung dalam suatu ritual, bagaimanapun tidak akan terlepas dari simbol-simbol yang terdapat di dalamnya sebab simbol sendiri merupakan manifestasi yang nampak dari suatu ritual. Adapun William Roff dalam analisisnya juga berusaha mengungkap makna suatu simbol yang terdapat dalam ritual haji untuk mencari makna keagamaan yang terdalam bagi orang Islam.
Berlandaskan analisa William R Roff, maka makna dari fenomena Ibadah haji dapat dilihat dari makna yang terdapat dalam simbol-simbol yang ada di dalam ritual manasik haji dan sekitarnya. Sebagai contoh, ketika seseorang berada di miqaat mereka harus mandi dan mengenakan pakaian ihram yang menyimbolkan penyucian diri yang menandai tahap akhir usaha meninggalkan kebiasaan lama dan yang profan, serta menyimbolkan pelepasan diri secara total dari kaitan-kaitan dan status-status duniawiyah dan dari segala dosa.[11]
Ketika seorang haji mengenakan pakaian ihram yang hanya terdiri dari dua potong kain putih tak berjahit bagi laki-laki atau untuk wanita boleh berjahit dan biasanya pun warnanya putih, makna yang bisa ditangkap adalah bahwa dalam situasi seperti ini sama sekali tidak boleh lagi mempersoalkan derajat, pangkat, warna kulit, dan status-status lainnya selaih bahwa mereka adalah muslim. Kemudian larangan melakukan hubungan seksual, membunuh, menebang pohon, berkata kotor dan sebagainya menunjukkan bahwa seorang haji harus benar-benar meninggalkan segala kepentingan duniawi. Sebagaimana juga diutarakan Dr. Komaruddin Hidayat, dalam melakukan ibadah haji, mungkin setiap orang akan mengalami pengalaman batin yang berbeda-beda. Sebagian mungkin tersentak hatinya ketika mulai menggunakan pakaian ihram sehingga semakin ingat akan dekatnya kematian. Melalui ibadah haji seseorang disadarkan dan diajak merenung untuk memahami hakekat misi dan eksistensi hidup ini.[12]
Puncak ibadah haji ditandai dengan serangkaian peribadatan yang sentral, esensial dan dilakukan secara bersama-sama yang berupa thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, berkurban di Mina, dan melempar jumrah. Kesemuanya itu adalah ritual simbolik yang sarat akan makna baik historis maupun filosofis. Keseluruhan periode inilah yang dicirikan oleh Turner sebagai anti struktur sosial dimana muncul keterikatan secara sepontan dalam konteks sebagai individu-individu yang sejajar dan lepas dari atribut-atribut sosial.[13]
Sungguh nampak jelas bahwa segala praktek ritual manasik haji yang dilakukan para jamaah haji mulai dari thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, berkurban di Mina, dan melempar jumrah sampai tahalul menunjukkan kekuatan emosional dan keterhanyutan mereka dalam satu kesatuan antara seluruh kaum yang tidak mengenal lagi batas-batas karakteristik keduniawian. Semua lebur menjadi satu dalam ritme kebersamaan yang pasrah tanpa penolakan.
Adapun dalam tahap agregation, banyak jamaah yang paling tidak dalam penampilan luarnya berubah setelah pulang ke negrinya masing-masing. Bahkan tidak jarang pula di antara mereka yang mengganti namanya sebagai simbol kelahiran layaknya manusia yang baru di lahirkan. Sebagaimana ditegaskan William R Roff, banyak pula di antara mereka yang berubah pula persepsinya mengenai Islam dan kaum muslimin. Mereka kini telah menjadi milik bagi komunitas muslim yang luas (ummat Islam) maupun masyarakat nasional dan lokal.[14]
2. Haji dalam Telaah Intelektual Muslim
            Membahas tentang bagaimana pemaknaan para intelektual muslim terhadap fenomena ibadah haji sebenarnya tidak akan lengkap jika tidak menggali literatur-literatur klasik yang telah diwariskan para ulama di masa lalu. Akan tetapi di sini hanya akan disajikan tanggapan-tanggapan dari cendekiawan-cendekiawan dan intelektual muslim kontemporer yang sezaman dengan William R Roff. Dengan demikian akan dapat ditemukan persamaan dan perbedaan mereka dalam menggali makna ibadah haji pada konteks masa yang sezaman.
            Sebenarnya penggalian makna terhadap fenomena haji yang dilakukan oleh William R Roff dengan kerangka teori yang ia adopsi dari Gennep dan Turner sudah cukup baik dan akan diamini oleh umat Islam, akan tetapi bahwa ia belum menjelaskan hakekat arti ibadah haji bagi seorang muslim adalah hal yang nampak nyata. Namun hal ini patut di maklumi karena ia memang berbicara bukan sebagai seorang muslim yang memeluk Islam dan menjalankan haji. Ia hanya berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang orientalis yang mencoba menangkap simbol-simbol lalu menelusuri dan memahami secara mendalam makna-makna dibalik simbol-simbol perbuatan yang diekspresikan oleh seseorang atau masyarakat dalam ritus haji.
            Meskipun masih terdapat kelemahan, namun telaah William R Roff patut diapresiasi mengingat ia cenderung lebih obyektif dibanding hasil kajian orientalis lainnya dalam memahami kedudukan dan makna ibadah haji bagi seorang muslim. Ia juga mengkritisi kajian Cristian Snouc Hurgronje yang terlalu terpengaruh pretensi politis dalam memaknai ritual keagamaan. Ia juga mengkritisi kajiah A. J. Wensinck dalam artikel panjang yang berjudul “Hajj” pada edisi kedua The Encyclopedia of Islam karena terlalu dangkal dalam membahas haji. Tulisan-tulisan Bernard Lewis, van Gennep dan Turner pun tidak luput dari koreksinya. Menurutnya, model perjalanan ritual (rites de passage) Gennep  akan sedikit lebih banyak mempunyai makna daripada mengelaborasi haji hanya sebagai sumber dari mekanisme untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Konsep Turner yang cukup bagus pun menurut William R Roff hanya mengungkapkan keadaan yang belum diuji dan dibuktikan. Perhatian Turner lebih banyak menyelami makna haji dalam tahap pelaksanaan, sementara pada tahap pra-pelaksanaan dan pasca pelaksanaan kurang begitu disinggung.
            Adapun haji menurut umat Islam sendiri merupakan sebuah ibadah sebagai wujud kepasrahan seorang mukmin terhadap Allah. Haji merupakan manifestasi ketundukan kepada Allah semata. Dengan berhaji seseorang menampakkan keinginannya untuk mendapat rahmat dan ampunan-Nya. Melaksanakan kewajiban haji bagi seorang mukmin merupakan ungkapan syukur atas nikmat harta dan kesehatan yang diberikan Allah. Haji bagi seorang muslim merupakan sebuah wahana untuk menempa jiwa agar memiliki semangat juang dan kesabaran yang tinggi.
            Setiap bagian dari rangkaian ibadah haji merupakan perlambang atau simbol yang diyakini punya makna. Haji adalah simbol dari penyerahan tanpa syarat kepada Allah. Ia adalah simbol kesinambungan ummat ini dengan bapaknya, Ibrahim As. Ia juga merupakan simbol persatuan umat Islam tanpa memandang ras, suku, bangsa, warna kulit, jabatan dan sebagainya. Haji merupakan manifestasi prinsip-prinsip Islam, manifestasi ukuwah Islamiyah karena di dalamnya terkandung makna ta’aruf akbar yang terjadi di antara para haji. Haji merupakan manifestasi kesetiaan seluruh kaum muslimin terhadap satu kekuasaan politik.[15]
            Haji pada hakekatnya adalah madrasah tempat penggemblengan yang mengantarkan manusia muslim ke derajat yang lebih tinggi. Sebab dengan berhaji seorang muslim harus mampu belajar, berusaha, dan sabar. Ketika haji setiap gerak hidup orientasinya ibadah. Mau tidak mau mereka harus saling bersikap ramah, tolong menolong, mengendalikan nafsu dan emosi.[16]
            Sebagaimana dijelaskan Sa’id Hawa, di dalam ibadah haji banyak kemanfaatan baik duniawi maupun ukhrawi. Diantaranya adalah dijadikannya Makkah al Mukarramah sebagai markas bagi kaum muslimin. Mereka yang berdatangan dari berbagai penjuru merasa bersaudara sehingga seakan-akan haji merupakan sutu muktamar Islam yang juga merupakan sarana pendidikan persaudaraan Islam sedunia atas cinta, persatuan dan kerja sama.[17]
            Di dalam haji setiap tempat dan amalannya mengandung berbagai ibrah dan makna. Arafah adalah tempat berkumpulnya manusia sebelum melaksanakan tawaf rukun. Setelah wukuf di Arafah semua jamaah haji serentak mereka memulai keberangkatan menuju Ka’bah. Kemudian menuju Muzdalifah dalam keadaan bertaubat dan berserah diri. Lalu mereka menuju kek Ka’bah dengan jiwa bersih. Di muzdalifah mereka menuju mina untuk melempar jumrah sebelum thawaf. Mekontar jumlah sebagai pernyataan bahwa musuh Allah adalah musuh mereka. Kemudian mereka berkorban sebagai wujud syukur dihalalkannya binatang ternak kepada mereka. Lalu mereka mencukur rambut sebagai persiapan untuk tahwaf.[18]
            Ritual selanjutnya adalah sa’i yaitu lari-lari kecil dari shafa ke marwah sebagaiman pernah dilakukan ibu mereka, Hajar. Keluar dari perjalanan ini manusia menjadi seperti dilahirkan kembali. Selanjutnya mereka kembali ke Mina untuk melempar jumrah sebagai pernyataan permusuhan total terhadap syaithan selamanya.[19]
            Haji merupakan pusaka yang diwariskan Ibrahim As. Bahkan menurut Prof. Dr. Muhammad Syaltut dalam kitab “Islam Aqidah wa Syari’ah” haji adalah bentuk penyembahan sejak manusia purba sebelum Islam. ia berarti peziarahan ke tempat tertentu sebagai penyembahan dan penyucian pada Tuhan sembahannya. Begitulah yang terjadi pada berbagai bangsa purba seperti orang Mesir Kuno, Yunani Kuno, Jepang Kuno dan sebagainya. Keadaan seperti itu terus berangsung sampai Allah mengutus Ibrahim  dan memerintahkannya membangun Ka’bah untuk tujuan penyatuan sistem haji manusia.[20] Jika manusia menyadari hajji akan melahirkan gagasan-gagasan rabbani maka akhlak umat Islam akan semakin tinggi.
            Pada dasarnya kewajiban ibadah haji bagi setiap muslim yang mampu memiliki dua sasaran. Pertama, mempertebal keimanan dan memperbusar ketakutan terhadap Allah, mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ketaatan kepada-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mencari ridla dan ampunan-Nya dengan jalan mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh Ibrahim As. Kedua, adanya ikatan antara negara-negara Islam dalam segala bidang kehidupan.[21]
            Hikmah ibadah haji amat besar faedahnya bagi seorang muslim dan juga bermanfaat bagi masyarakat umum, diantaranya:[22]
a.       memantapkan keyakinan tentang kebesaran Islam dan menanamkan keimanan. Melalui praktek pelaksanaan haji, orang akan mampu menyaksikan sebagian bukti-bukti bersejarah mengenai kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad seperti Ka’bah, sumur Zamzam, makam Nabi Muhammad dan sebagainya sehingga mampu menambah ketebalan iman seseorang.
b.       menumbuhkan rasa persamaan di antara sesama manusia yang berasal dari berbagai ras, suku, dan bangsa yang dilambangkan dengan pakaian serba putih dan tidak berjahit. Tidak seorang pun lebih mulia atas orang lain dihadapan Allah kecuali pada ketaqwaannya.
c.       menumbuhkan rasa persaudaraan dan persatuan antar umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai wahana saling mengenal, memahami untuk menghindari berbagai perselisihan.
d.       pertemuan setahun sekali di musim haji juga merupakan sebuah momen yang baik untuk bertukar pikiran, pengalaman, dan hasil-hasil kemajuan di antara sesama muslim yang berujung pada terjalinnya kerja sama di segala bidang.
Karena pentingya makna haji bagi seorang mukmin maka pantaslah para calon haji mempersiapkan keberangkatannya dengan matang. Menurut  H. Dr. Miftah Faridl dalam buku Petunjuk Ibadah Haji dan Umroh, setidaknya ada beberapa hal yang harus dipersiapkan secara matang sebelum seseorang berangkat menuju ke Makkah al Mukarromah, yaitu:
1.       Membersihkan diri dari dosa dan kesalahan baik langsung kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia.
2.       Mempersiapkan mental guna mengikuti seluruh rangkaian ibadah haji yang memerlukan ketangguhan, keikhlasan dan ketawakkalan atau kepasrahan kepada Allah SWT. 
3.       Mempersiapkan biaya, baik selama dalam perjalanan haji, maupun untuk nafkah keluarga yang ditinggalkan. 
4.       Mempersiapkan ilmu dan pengetahuan agama, khususnya manasik haji.Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan harta kekayaan, seperti zakat, nadzar, hutang, infaq dan shadaqah. 
5.       Menyelesaikan segala urusan yang berhubungan dengan keluarga.
6.       Melaksanakan janji yang pernah dinyatakan. 
7.       Memohon do'a restu kepada kedua orang tua (jika masih hidup)
8.       Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan harta kekayaan, seperti zakat, nadzar, hutang, infaq dan shadaqah. 
9.       Menjaga kesehatan dan mempersiapkan obat-obatan pribadi selama dalam perjalanan haji.
10.   Mempersiapkan beberapa perlengkapan yang dianggap perlu.
 
G. Sumbangan Pemikiran William R. Roff
William R. Roff menganggap sangat perlu melakukan pengkajian terhadap haji karena menurut dewasa ini hanya terdapat sedikit usaha dikalangan ahli agama-agama untuk membuat kategori-kategori analitis-sosiologis, psikologis, materialis, antropologis, atau yang lainya, untuk menjelaskan fenomena keagamaan atau menunjukan makna fenomena tersebut bagi orang lain yang bukan pemeluk. William R. Roff mencoba untuk menemukan beberapa cara untuk menggambarkan ekspresi dari para pemeluk agama dengan pendekatan teoritis dengan meminjam teorinya Gennep dan Turner.
Penelitian William R. Roff, dimulai dengan mengungkapkan fenomena haji, menganalisis dengan teori rites de passagedari  Gennep dan Turner. Selanjutnya menganalisi proses ibadah haji berdasarkan tiga tahapan menurut Gennep. yaitu; pra pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan; atau pemisahan (separation), transisi (transition) dan kebersamaan (agregation)
Hasil penelitian William R. Roff telah memberikan  wawasan dalam upaya memahami fenomena keagamaan mengenai ibadah haji, teorinya dapat digunakan untuk membantu para sejarawan dalam menganalisis proses-proses sosial masyarakat serta menjelaskan peran dan fungsi sosial-politik dari ritual haji sekaligus dapat mempermudah dalam memahami pemaknaan terhadap haji sebagai sebuah kesatuan ritual.
Penelitian william Roff ini memberikan sumbangan keilmuan terhadap kajian mengenai teori haji yang dalam perkembangannya dapat digunakan sebagai alat analisis sejarawan, juga memberikan kerangka teori dalam menjelaskan atau menjawab pertanyaan mengenai peran dan fungsi sosial maupun politik yang dapat dipahami dari ritual haji.

H. Kesimpulan
            Berdasarkan uraian pada pembahasan sebelunya dapat disimpulkan bahwa dalam rangka pemaknaan terhadap  fenomena ibadah haji, William R. Roff melakukan kategorisasi terhadap ritus badah haji dengan membaginya ke dalam tiga tahapan yang setiap tahapan memiliki makna sentral sendiri-sendiri. Tiga tahapan tersebut diadopsi dari Gennep dan Turner yaitu tahap pra pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan; atau pemisahan (separation), transisi (transition) dan kebersamaan (agreration).
Sebenarnya penggalian makna terhadap fenomena haji yang dilakukan oleh William R Roff dengan kerangka teori yang ia adopsi dari Gennep dan Turner sudah cukup baik dan akan diamini oleh umat Islam, akan tetapi belum komprehensif  dan belum menjelaskan hakekat arti ibadah haji bagi seorang muslim. Namun hal ini patut di maklumi karena ia memang berbicara bukan sebagai seorang muslim yang memeluk Islam dan menjalankan haji. Ia hanya berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang orientalis yang mencoba menangkap simbol-simbol lalu menelusuri dan memahami secara mendalam makna-makna dibalik simbol-simbol perbuatan yang diekspresikan oleh seseorang atau masyarakat dalam ritus haji.
Meski masih terdapat kelemahan, namun telaah William R Roff patut diapresiasi mengingat ia cenderung lebih obyektif dibanding hasil kajian orientalis lainnya dalam memahami kedudukan dan makna ibadah haji bagi seorang muslim.
Sebagai penutup, ibadah haji memang mengandung makna dan rahasia terpendam yang sulit digali oleh orang-orang biasa yang tidak pernah meretas jalan spiritual menuju Ilahi. Meminjam istilah Al-Quran, masalah ini tidak akan tersentuh kecuali oleh orang-orang yang disucikan. Maka siapakah mereka itu dan apa sebenarnya yang terkandung di balik ritus-ritus tersebut?


[1] Syaikh Abdul Aziz bin Baz…..
[2] Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M. Ag dan Ir. H. Ibnu Sholeh …….
[3] Sundarmi Burkan Saleh…..
[4] Abul A’la Al Maududi ……
[5] Ibid
[6] Sa’id Hawwa……
[7] Drs. Nasruddin Razak …….
[8] Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Al ‘Arusi……
[9] Konsep rites de passage yang dikemukakan Arnold van Gennep dalam konteks haji dapat direduksi dalam satu pengertian –bahwa haji terdiri- menjadi tiga tahap: pra pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan atau pemisahan (separation), transisi (transition),  dan kebersamaan (agregation). Lihat William R. Roff, Pendekatan Teoritis Terhadap Haji, dalam Richard C. Martin ed., Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama, Cet. II, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 113
[10] Metode vestehn, yaitu pemahaman tentang gagasan dan perasaan orang atau masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik kebudayaan.
[11] Lihat William R. Roff……
[12] Dr. Komaruddin Hidayat……
[13] Lihat William R. Roff …….
[14] Ibid
[15] Sa’id Hawwa …..

[16] Ibid
[17] Abul A’la Al Maududi …….
[18] Sa’id Hawwa ……………
[19] Ibid
[20] Drs. Nasruddin Razak ……
[21] Prof. Dr. Ir. Abdul Aziz Al ‘Arusi…….
[22] Haya Binti Mubarok Al Barik …….

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547