Saturday, April 23, 2011

PERAN PONDOK PESANTREN BAGI BANGSA INDONESIA

PERAN PONDOK PESANTREN BAGI BANGSA INDONESIA
Analisis Historis dari Masa Pra Kolonial Hingga Era Reformasi
Hanung Hisbullah Hamda


A. Pendahuluan
Tidak ada data resmi tentang kapan pondok pesantren pertama muncul di Indonesia. Namun dari catatan para sejarawan, pesantren mulai dikenal di Nusantara sejak masuknya Islam di Indonesia. Menurut para ahli, pondok pesantren sebagai sebuah model lembaga pendidikan Islam mulai dikenal di Pulau Jawa sekitar permulaan abad ke-15 atau kurang lebih 500 tahun yang lalu. Selama kurun waktu hampir setengah milenium itu, lembaga pesantren telah mengalami banyak perubahan di berbagai segi dan telah memainkan berbagai macam peran strategis dalam masyarakat dan bangsa Indonesia. Pada era walisongo, peranan terpenting dari pondok pesantren tampak dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pesantren dengan figur kiayi atau wali juga memiliki kekuatan politis untuk melegitimasi sebuah kekuasaan seperti yang terjadi pada kasus kerajaan Demak dan Pajang. Peran politis tersebut semakin menguat pada zaman penjajahan Belanda, dimana hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren.[1]
Adapun perkembangan pondok pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan tertua di Indonesia mulai menjamur khususnya di tanah Jawa sejak abad ke-17. Keberadaan pesantren dalam sejarah Indonesia telah melahirkan hipotesis yang barangkali memang telah teruji, bahwa pesantren dalam perubahan sosial bagaimanapun senantiasa berfungsi sebagai “platform” penyebaran dan sosialisasi Islam.[2]
Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi.[3]
Dalam perkembangannya, pesantren tetap kokoh dan konsisten mengikatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan dan mengembangkan nilai-nilai Islam. Realitas ini tidak saja dapat dilihat ketika pesantren menghadapi banyak tekanan dari pemerintah kolonial Bbelanda, namun pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan pesantren justru dihadapkan pada suatu tantangan yang cukup berat yaitu adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern. Di tengah kondisi yang demikian, di mana masyarakat semakin diperkenalkan dengan perubahan-perubahan baru, eksistensi lembaga pendidikan pesantren tetap saja menjadi alternatif bagi pelestarian ajaran agama Islam. Pesantren justru tertantang untuk tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai lembaga yang mampu bersifat adaptatif menerima dinamika kehidupan.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk pendidikan di pesantren ini, kini sangat bervariasi, yang dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi lima tipe, yaitu: (1) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal yang menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SLTP, SMU, SMK, dan Perguruan Tinggi Umum), seperti pesantren Tebu Ireng Jombang, pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak dan pesantren Syafi’iyyah Jakarta. (2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Matholi’ul Falah) dan Darul Rahman Jakarta. (3) Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah, seperti pesantren Salafiyah Langitan Tuban, Lirboyo Kediri dan pesantren Tegalrejo Magelang. (4) Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim), dan (5) Kini mulai berkembang pula nama pesantren untuk asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa. Maraknya pendidikan pesantren tipe ke-5 (Pesantren Mahasiswa) yang muncul sejak dekade 80-an ini sebenarnya menjadi sebuah fenomena yang sangat menarik untuk dicermati. Hal ini bukan saja karena usia kelahirannya yang masih relatif muda, akan tetapi manajemen atau pengelolaan pesantren mahasiswa memiliki spesifikasi tersendiri. Berbeda dengan pesantren pada umumnya yang rata-rata menyelenggarakan pendidikan keagamaan untuk jenjang pendidikan dasar sampai menengah saja. [5]
Di tengah dinamika sistem kehidupan dunia yang mulai meninggalkan nilai-nilai moral dan pranata sosial, tampak jelas geliat lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren menyiapkan peserta didiknya menjadi manusia yang tidak saja memiliki kompetensi keilmuan dan life skill yang memadahi, namun juga menjunjung tinggi aspek moral sebagai landasan berpijak. Pesantren adalah tempat dimana calon-calon pengemban amanah negara tumbuh dan belajar membekali diri dengan menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual untuk menyongsong hiruk-pikuk masa depan. Kekuatan elit pesantren tidak diragukan lagi sebagai bagian integral dari kelompok agent of change diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pencerahan masyarakat.[6]
Berdasarkan fakta-fakta historis, sangat sulit dipungkiri keterlibatan pondok pesantren dalam membentuk dan mencerdaskan bangsa Indonesia. Namun perkembangan konstelasi politik dan sistem pendidikan di Indonesia telah sedikit banyak mengkaburkan peran tersebut sehingga seakan-akan pondok pesantren tidak memiliki kontribusi yang memadai bagi lahirnya Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat serta berketuhanan.
Tulisan ini secara ringkas mencoba untuk mengidentifikasi fakta-fakta historis peranan pondok pesantren bagi bangsa Indonesia sejak zaman pra kolonial hingga era reformasi. Kemudian fakta-fakta tersebut akan dicoba untuk dianalisa guna menjelaskan sumbangsih pondok pesantren dalam perjalanan bangsa ini.

B. Gambaran Umum Pesantren
1. Sejarah Singkat Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Pondok Pesantren sejatinya merupakan fenomena pendidikan Islam klasik yang terdapat sejak dari Aceh hingga Nusa Tenggara, yang muncul sejak abad ke 15, dengan berbagai nama seperti dayah (Aceh), pondok (Jawa Barat), nyantren (Madura), pesantren (Jawa Tengah dan Jawa Timur), dan sebagainya. Meski demikian, dalam perjalanan sejarahnya, pondok pesantren lahir dan berkembang sebagai pembebas masyarakat dari keterbelengguan pendidikan (agama), sosial, ekonomi, politik dan didirikan sebagai bagian dari adaptasi budaya komunitasnya terhadap tantangan modernitas.
Pesantren sendiri pada dasarnya berari tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti tempat tinggal sederhana yang terbuat dari pohon bambu. Kata pondok bersal dari bahasa Arab “فندوق” yang berarti Hotel atau Asrama  yang secara terminologis maknanya adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajarannya diberikan dengan cara non klasikal (sistem sorongan dan bandongan) oleh seorang Kiai dengan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dan santri tinggal di dalam pondok atau asrama pesantren.[7]
Pesantren merupakan pelopor sistem pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini dapat dilihat dari perjalanan sejarah dimana bila diruntut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama dan da’i.[8]
Menurut Suryadi Siregar, terdapat dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesi.[9] Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Menurut pendapat ini, pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut kiai atau mursyid mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri dan kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang sudah lebih dahulu diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader. Anggapan lain mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari tradisi Islam alasannya adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan Thailand.[10] Tampaknya dalam permasalahan ini pendapat yang terakhirlah yang lebih kuat secara historis.
Pesantren dalam pengertian sebagai sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya di Pulau Jawa, dimulai dan dipelopori oleh Walisongo pada awal abad ke-15. hal ini karena model pesantren di Pulau Jawa pertama kali didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H bertepatan dengan 8 April 1419M. Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal juga dengan nama Sunan Gresik dimana beliau adalah orang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu Hurairoh dan Kyai Kebang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana.[11]
Sedangkan Mastuhu berpendapat bahwa kapan pesantren pertama kali didirikan dan oleh siapa, tidak ada keterangan yang pasti. Dan hasil pendataan pendataan Departemen Agama pada tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062, atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura. Tetapi hal ini juga diragukan karena tentunya ada Pesantren Tan Jampes I yang sudah pasti lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Mastuhu menambahkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi nusantara  ini dalam periode abad ke-13 sampai 17 M, dan di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut, sangat sulit menentukan tahun berapa dan dimana pesantren pertama kali didirikan.[12]
Pesantren di Indonesia dalam perkembangannya mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudian menjadi pusat pusat penyiaran Islam seperti; Syamsul Huda di Jembrana (Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdlatul Wathan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa (Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya. Walaupun tiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada 5 prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama yaitu;[13]
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai
2. Santri taat dan patuh kepada kyainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh kyai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan
5. Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat
Saat ini, secara garis besar ada dua tipologi pondok pesantren yang tetap eksis di Indonesia. Yang perama tipe tradisional (salaf) dan yang kedua pesantren tipe modern (kholaf) dalam arti sudah memadukan sisem pesantren dengan sistem pendidikan sekolah moderen atau madrasah dan memuat kurikulum pelajaran umum. Menurut Gus Dur, ciri pesantren tradisional adalah cara pemberian pengajaran yang ditekankan pada penangkapan harfiah atas suatu kitab tertentu. Orientasinya adalah menyelesaikan pembacaan kitab tersebut untuk kemudian dilanjutkan pada kitab yang lain. Dalam pesantren tipe tradisional ini banyak pendidikan yang pengajarannya di luar kurikulum formalnya, pengajaran tambahan yang senantiasa berubah-ubah formanya dari waktu ke waktu. Karena itu tidak didapati suatu mekanisme pendidikan yang pasti, yang ada hanyalah kesadaran tunggal bahwa pengajaran harus dilakukan dan diberikan secara berjenjang dengan kitab-kitab yang sudah tersedia.[14]
2. Unsur-unsur Pesantren
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa.[15] Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Adapun unsur-unsur pokok yang membedakan pondok pesanren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah:[16]
a). Pemondokan
Pada awal perkembangannya pondok tidak semata-mata digunakan untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Kyai tetapi juga sebagai tempat latihan bagi santri agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat.  Istilah ‘pondok’ secara terminologi adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya.[17] Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya dan tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
Komplek sebuah pemondokan di pesantren biasanya terdapat gedung-gedung seperti asrama santri, rumah kyai, perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian, dan lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Pemondokan didirikan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri dan sekaligus sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara kebersihan dan ketertiban lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.[18]
b). Masjid
Keberadaan Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Masjid merupakan unsur pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan sholat Jama’ah setiap waktu sholat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia karena dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.”[19] Biasanya  bangunan masjid inilah yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren..
c). Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pondok pesantren karena dalam sebuah pondok pesantren harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang guru. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang guru, barulah si guru itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Biasanya santri terdiri dari dua kelompok yaitu Santri Mukim yang biasanya berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren dan Santri Kalong yang berasal dari daerah-daerah di sekitar sehingga idak perlu inggal di pondokan dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren, tetapi mereka pulang kerumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.[20]
d). Kyai
Istilah “kyai” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa.[21] Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: (1).sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; (2). gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; (3). gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.[22]
Kyai sebagai tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren.[23] Pada akhirnya memang kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa serta keterampilan kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya.
e). Kitab kuning
Adanya kitab-kitab Islam klasik yang dikarang para ulama terdahulu. Perlu digarisbawahi bahwa yang menjadi ciri setiap pesantren khususnya NU adalah pengajian kitab kuning, yaitu kitab yang berisi ilmu-ilmu keislaman yang ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda baca sehingga disebut juga sebagai “Kitab Gundul”.[24]
Kitab-kitab kuning yang dipelajari di pesantren adalah kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.[25] Namun sekarang ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren. Meskipun begitu, porsi pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi ruang yang paling tinggi. Pada umumnya, pelajaran kitab dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam, bahkan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[26]
Biasanya dalam dunia pesantren setidaknya ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, yaitu: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama.[27].
3. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:
Pada masa lalu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini,[28] tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Pola pendidikan dalam pondok pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren.[29]
Adapun sitem bandongan atau wetonan merupakan sistem transformasi ilmu yang utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru.[30] Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat diklasifikasikan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salaf. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
Proses modernisasi pondok pesantren saat ini ditujukan untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[31]

C. Pondok Pesantren dalam Perjalanan Bangsa Indonesia
1. Peran Pesantren pada Masa Pra Kolonial
Sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, wujud pondok pesantren di Nusantara hampir bersamaan dengan datangnya umat Islam dinegeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran Islam dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Dalam teori Prof. Naquib al-Attas tentang Islamisasi masyarakat Melayu, Islam datang dengan membawa pandangan hidup baru yang ditandai oleh munculnya semangat rasionalisme dan intelektualisme. Pandangan hidup baru ini kemudian merubah pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh dunia mitologi.[32]
Islam mampu menjadi pandangan hidup bagi sebagian besar bangsa Indonesia setelah melalui proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat, dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini telah sukses berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Hal ini berbeda dengan agama Hindu yang tidak mempunyai peran dalam pembinaan spiritual masyarakat awam yang kebanyakan dari kasta rendah.  Sebagai contoh di Sumatera, yang pernah dikenal sebagai pusat berkumpulnya para pemikir Hindu, misalnya, pandangan hidup Hindu hampir tidak tersentuh oleh kasta sudra yang merupakan masyarakat awam. Karena itulah pada masa kekuasaan kerajaan Hindu banyak anggota masyarakat kelas awam yang tertarik pada pandangan hidup Islam yang lebih egaliter.
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa salah satu peran terpenting dari pondok pesantren pada zaman pra kolonial dalah sebagai agen perubahan sosial yang mampu merubah pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya dari hal yang statis dan mistis menuju pola pandangan hidup yang dinamis, rasional dan progresif yang disebut dengan proses Islamisasi. Pada gilirannya nanti, rasionalitas dan dinamisasi inilah yang kemudian memicu bangsa Indonesia untuk tergerak menentang segala bentuk kolonialisme di bumi Nusantara.
Peran pesantren yang juga menonjol bagi perjalanan bangsa Indonesia pada periode ini adalah fungsinya sebagai lembaga da’wah syiar agama Islam. Terbukti dalam sejarah bahwa pondok pesantren telah menjadi ujung tombak dalam mengenalkan Islam kepada bangsa Indonesia yang pada gilirannya nanti terbukti bahwa Islam sebagai sebuah agama telah menjadi unsur perekat bangsa Indonesia sekaligus sebagai unsur terpenting dari munculnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa pra kolonial ini, kita mengenal pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai yang menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali menempa diri yang diantaran mereka kemudian disebut wali songo yang masyhur dalam penyebaran Islam khususnya di Jawa. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Di Makassar inilah kemudian lahir Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa yang namanya masyhur di Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.
Peran pesantren yang lain pada periode ini yaitu sebagai sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan dan berupaya mencerdaskan bangsa. Kemunculan pesantren sungguh telah menjadi awal munculnya pencerdasan bangsa Indonesia, sebab melalui pesantren inilah bangsa Indonesia mulai mengenyam pembelajaran baik keagamaan maupun cara bermasyarakat dan bernegara.
Pesantren dianggap berhasil mengenalkan sistem bahasa Arab Melayu sampai pada masyarakat kelas bawah. Dengan kata lain pesantren merupakan lembaga pendidikan Indonesia pertama yang mampu membuka isolasi kultural dengan dunia luar secara luas. Pada gilirannya nanti bahasa Arab Melayu dengan huruf “pegon” telah menjadi alat pemersatu dan sekaligus sebagai alat atau media ekspresi para ilmuwan dan pujangga di tanah Melayu dan Indonesia. Saat ini pun kita masih bisa menjumpai hasil karya di bidang sastra yang luar biasa tinggi nilainya yang ditulis dengan aksara pegon.
2. Peran Pesantren pada Masa Kolonial
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, penyebaran ajaran Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Begitu pula yang terjadi ketika Belanda mulai bercokol di bumi Nusantara, penyebaran Islam dan pendidikan Islam masih menjadi salah satu peran pokok dari pondok pesantren. Namun disamping itu, pada masa awal penjajahan Belanda banyak tokoh-tokoh pesantren yang terpanggil menjadi tokoh-tokoh perjuangan bangsa Indonesia dan gigih terlibat dalam berbagai perlawanan menentang Belanda. Sebagai contoh misalnya dalam perang Dipenogoro di Jawa -selain Pangeran Diponegoro sendiri adalah santri- ia juga dibantu oleh Kyai Mojo dan Sentot Prawirodirjo yang merupakan elit pesantren. Mereka bahu membahu menentang penjajah Belanda yang dalam pemahaman mereka adalah kafir. 
Selain Pangeran Diponegoro, kasus yang hampir sama terjadi pada Perang Paderi dengan tokoh sentralnya Imam Bonjol yang juga tergolong dari kaum santri. Perang Aceh mengenalkan kita pada Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Nyak Muthia, Panglima Polim, Teuku Cik Di Tiro dan kawan-kawan yang kesemuanya merupakan didikan dayah di Aceh. Bahkan yang paling akhir kita mengenal KH. Zenal Mustofa dari Tasikmalaya dengan santrinya memberontak penjajah Jepang, sehingga banyak diantara mereka yang gugur di medan perang menjadi syuhada. Kemudian ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kyai dan santri mendirikan tentara Hizbullah dan Sabilillah sebagai bentuk manifestasi jihad melawan kekafiran. Laskar Hizbullah dan Sabilillah kemudian yang berkontribusi pada terbentuknya BKR dan TKR  yang merupakan cikal bakal TNI.
Pesantren yang hadir hingga di pelosok-pelosok pedesaan, mampu mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Masyarakat Muslim yang solid ini kelak menjadi modal yang kuat bagi persatuan bangsa Indonesia sehingga bangsa ini bisa berdiri sebagai bangsa yang merdeka. 
Pengaruh kyai dari pesantren ternyata tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu, pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga. Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari yang berhasil menjadi Pujangga Jawa terkenal.
Pada awal abad ke-20 Kyai Kholil, Bangkalan-Madura mendorong dan merestui KH Hasyim Asy'ari untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia. Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan KH Hasyim Asy'ari di Makkah, yaitu KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" .
Awal abad ke-20 antara tahun 900-1930 adalah periode kebangkitan intelektual di wilayah yang kemudian disebut sebagai Nusantara. Pada periode ini berdirilah Syarekat Islam (sebelumnya Syarekat Dagang Islam) yang di arsiteki H. Samanhudi dan HOS Cokroaminoto yang lagi-lagi orang pesantren. Bahkan menurut banyak sumber, kelahiran Syarekat Dagang Islam sebagai sebuah organisasi nasional lebih dahulu dari pada Budi Utomo.   Pada periode ini berdiri pula beberapa pesantren seperti Pesantren Salafiyah Syafi’iah Situbondo (1914), Pesantren Cipasung (1931), Pesantren DDI (Darul Dakwah wal Irsyad) Mangkoso (1939) dan sebagainya. Pondok-pondok tersebut lahir dan berkembang sebagai respon atas hegemoni kolonial Belanda yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mendapatkan hak-hak dasarnya, terutama hak memperoleh pendidikan.
Menurut K.H. Miscbach, seorang tokoh dari kalangan ulama, dalam Mubes I Ittihad al-Ma’ahid Islamiyah pada tanggal 2-3 Agustus 1969 ia mengatakan bahwa pesantren merupakan kubu pertahanan mental masa-masa kolonialis Belanda. Artinya, pesantren tidak hanya sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan senjata penjajah, namun pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral. Pemikiran Snouck Hurgronje yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu dominan dipengaruhi pesantren. Tentu, ini dikarenakan tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini Belanda sebagai penjajah.[33]
Pesantren juga sukses dalam memberantas buta huruf pada masyarakat akar rumput di masa penjajahan dengan mengenalkan sistem bahasa Arab Melayu. Di lain hal, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat muslim Indonesia yang pertama membuka isolasi kultural dengan dunia luar. Hal ini adalah bentuk kemampuan pesantren dalam mengaktualkan bahasa Arab. Turunannya adalah membuka wacana bangsa hingga dapat berinteraksi dengan dunia dan keilmuan yang lebih luas. Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren berhasil melahirkan tokoh-tokoh ulama, zuama’, bahkan politikus kaliber internasional.
3.  Peran Pesantren pada Masa Kemerdekaan
            Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran para elit pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir dan beberapa orang lagi adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.
Pada masa pasca Kemerdekaan Indonesia, munculah para tokoh pendidikan seperti Ki Hasyim ‘Asy’ary dari Nahdlatul Ulama, Mohammad Dahlan dari Muhammadiyyah, KH. Agus Salim, HOS. Cokroaminoto (guru dari Soekarno, Tan Malaka, dan Kartosuwiryo) serta banyak lagi yang lainnya. Mereka semua adalah para tokoh jebolan pesantren yang begitu besar jasanya terhadap kemerdekaan dan konsen pada pengembangan pendidikan di Indonesia.
Dalam konteks mempertahankan kemerdekaan, sejarah perjuangan bangsa Indonesia mencatat sebuah peristiwa dahsyat di Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Hari tersebut saat ini diperingati sebagai hari pahlawan. Dalam peristiwa tersebut Sutomo yang didukung oleh arek-arek Surabaya berjuang mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah air. Bahkan KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 20 November 1945 mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk mempertahankan tiap jengkal tanah air Indonesia. Keterlibatan pesantren dan kaum santri dalam peristiwa-peristiwa perlawanan terhadap penjajah sangat sulit untuk dipungkiri, cuma sangat disayangkan bahwa dalam penulisan sejarah peran mereka sepertinya sengaja dimarjinalkan.  
Pada perkembangan selanjutnya, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Mohammad Rasyidi, alumni pondok Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH. Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Ditambah lagi dari kalangan 'moderen' sempat menyumbangkan tokoh-tokoh penting di pemerintahan, seperti Mukti Ali di lingkup Departemen Agama, Muhammad Natsir yang pernah menjadi perdana menteri, serta Syafrudin Prawiranegara yang sempat menjadi perancang ekonomi nasional maupun perdana menteri. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kyai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
4. Peran Pesantren pada Masa Orde Lama
            Pada Orde Lama dimana Soekarno semakin nampak sebagai seorang diktator sejak ia diangkat menjadi presiden seumur hidup. Sebenarnya, sedikit banyak ada juga peran dari pesantren dalam proses pencitraan Soekarno yang kemudian berhasil menjadi penguasa mutlak di Indonesia. Elit pesantren NU bahkan pada tahun 1954 malah menyematkan gelar waliyul amri adh dhorury bi asy syaukah bagi Soekarno yang berarti menambah legitimasi kekuatannya. Keputusan ini sangat ditentang oleh Masyumi dan pesantren-pesantren yang menyokongnya sebab bisa menghalangi perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara yang akan diperjuangkan dalam sidang konstituante.
Pada masa Soekarno menggalakkan ideologi yang saling bertentangan, yaitu Islamisme, Nasionalisme dan Komunisme (Nasakom), maka kyai-kyai NU kemudian mengambil jalan tengah mendukung konsep Nasakom yang digagas oleh Soekarno yang saat itu benar-benar sebagai penguasa mutlak. Kyai-kyai NU juga mendukung terhadap keputusan Presiden Soekarno untuk melakukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai cara untuk mengakhiri perdebatan di dalam Sidang Konstituante yang berlarut-larut selama 3,5 tahun. Perdebatan di Dewan Konstituante memang sangat meruncing dan cukup mengkhawatirkan bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perdebatan ini akhirnya tidak menghasilkan keputusan tentang dasar negara apakah Islam, Komunisme atau Pancasila. Menurut Soekarno, Dekrit Presiden untuk kembali ke Pancasila, UUD 1945 dan NKRI merupakan keputusan yang harus diambil karena menghindarkan keterpecahbelahan kesatuan dan persatuan bangsa.[34]
Adapun pesantren-pesantren lainnya yang tidak berafiliasi ke NU justru kebanyakan berada di luar lingkaran pemerintahan dan tidak mau berkompromi dengan keberadaan PKI di bumi Indonesia yang berketuhanan. PKI dalam mainstream mereka adalah kumpulan orang-orang kafir yang menghinakan agama. Pesantren-pesantren yang semacam inilah yang kemudian menjadi korban dan target sasaran PKI dalam menjalankan agenda-agenda politiknya. Banyak tokoh-tokoh ulama yang kritis terhadap Nasakom dan para kyai langgar yang menjadi korban pembantaian PKI. Kekuatan pesantren oposisi inilah yang kemudian merapat mendekati Angkatan Darat karena mempunyai misi yang hampir sama.
Dalam perkembangannya, ternyata PKI sebagai salah satu kekuatan Nasakom melakukan kudeta berdarah dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap para jendral angkatan darat yang mereka sebut sebagai anggota Dewan Jendral. Tindakan ini sebenarnya blunder besar bagi perjalanan PKI di Indonesia. Karena blunder tersebut, pencitraan PKI di masyarakat memburuk dan oleh Angkatan Darat bersama dengan dukungan dari pesantren berhasil menumpas PKI  dan antek-anteknya di bumi pertiwi. Pada sekitar tahun 1965 sampai 1967 ketika mahasiswa melalui KAMI, HMI, PII, dan lainnya bergerak melalui demonstrasi besar-besaran menuntut pembubaran PKI di Indonesia maka pesantren tidak mau ketinggalan dengan melakukan penyadaran di tingkat grass root, bahkan mereka turut serta dalam pembasmian anggota-anggota PKI.
5. Peran Pesantren pada Masa Orde Baru
Di era Orde Baru pembangunan fisik di segala bidang di galakkan oleh Soeharto. Akan tetapi kekuatan Islam yang dahulu ikut menaikkannya ke tampuk kekuasaan ternyata oleh Soeharto sengaja di marginalkan. Proses marginalisasi peran politik ummat Islam semakin menjadi ketika pemerintah memaksakan fusi bagi partai-partai Islam menjadi satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Tokoh-tokoh partai Islam yang kebanyakan berasal dari peantren kemudian balik ke ‘kandang’ masing-masing sehinggga pesantren berusaha menempatkan dirinya pada wilayah yang netral, yang bersih dari efek pergesekan dengan dunia politik. Meski demikian, terdapat pula beberapa pesantren yang tumbuh sebagai identitas keIslaman yang berbeda suara dengan pemerintah. Pada periode ini lahir beberapa pesantren seperti Pesantren Istiqlal Ciranjang Cianjur (1963), Pesantren al-Mukmin Ngruki (1967), Pesantren Darul Istiqomah Maccopa Maros (1967), dan Pesantren Qomarul Huda Bagu, Lombok Tengah (1972)
Pada periode 1980-an, pesantren lebih banyak mencerminkan peran sosialnya, terutama sebagai penguat masyarakat sipil ditengah hegemoni negara yang mencengkeram kuat rakyatnya, adapun peran politiknya bisa dikatakan terkebiri sejak LB Moerdani dan Ali Murtopo menjadi orang penting di ring I Soeharto. Pada periode ini lahir pesantren-pesantren seperti Pondok Modern Muhammadiyah (1983), Pesantren Edi Mancoro Salatiga (1984) dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru ini, ditengah kekuasaan yang hegemonic, kalangan pesantren secara umum mengambil sikap oposisi terhadap kekuasaan karena banyak kebijakan-kebijakan LB Moerdani dan Ali murtopo yang sengaja menyudutkan umat Islam. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa masyoritas masyarakat pesantren tidak berafiliasi terhadap partai mayoritas. Namun peran yang lebih tegas ditunjukkan pasca tahun 1984 dimana kalangan pesantren mulai menjadi tempat persemaian kekuatan masyarakat sipil. Gerakan pemberdayaan masyarakat melalui pesantren mulai gencar dilakukan. Relasi yang awalnya oposisi mutlak dengan penguasa mengalami dinamisasi menjadi lebih taktis. Dengan cara yang demikian tanpa mengurangi kemandirian dan kekritisannya pesantren dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk tujuan pemberdayaan masyarakat.[35]
Pada periode ini beberapa pesantren besar mengalami penurunan jumlah santri secara signifikan dikarenakan adanya peraturan dari pemerintah di bidang pendidikan yang tidak mengakui ijazah pesantren. Hal ini tidak lantas mematikan pesantren dan  perannya di dalam masyarakat, tetapi justru banyak pesantren yang kemudian berlomba-lomba menyesuaikan diri dengan membangun madrasah-madrasah yang diakui pemerintah dan tentunya mengajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu keagamaan. Animo masyarakat untuk sekolah di madrasah-madrasah di bawah pesantren pun ternyata luar biasa besarnya, sehingga pesantren tidak sampai kehilangan fungsi dan peran khusunya di ranah pendidikan.
Ketika pengetahuan agama dan umum sama-sama diajarkan  di pesantren, maka sebaran distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Banyak santri yang kemudian melanjutkan studinya ke perguruan tinggi umum non perguruan tinggi agama Islam. Para santri ini kemudian mengembangkan kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memilik background agama. Pada akhir 70-an dan awal 80-a, kajian-kajian tersebut kemudian menguatkan pergerakan-pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM, LDK, usrah-usrah, aktifitas masjid kampus dan lain-lain yang kesemuanya tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.
Harus diketahui, bahwa pada periode ini tumbuhlah pemikir-pemikir Islam kaliber Internasional yang berasal dari kaum santi seperti Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, Musthofa Bisri di bidang budaya, dan sebagainya.  Pada gilirannya nanti, tokoh-tokoh di atas lah yang dengan lantang berani mengemukakan isu-isu perubahan nasional dan isu suksesi yang pada masa Soeharto adalah sesuatu yang tabu.
6. Peran Pesantren pada Masa Reformasi
            Dari masa ke masa, ranah pendidikan tetaplah menjadi wilayah strategis bagi pondok pesantren untuk menunjukkan perannya. Tapi, di era reformasi para elit pesantren banyak yang terseret arus untuk terjun dalam percaturan politik. Akibatnya banyak pesantren-pesantren yang secara akademis “terlupakan” oleh para kyainya sendiri karena disibukkan oleh kegiatan politik. Bahkan ada beberapa pesantren yang iklimnya “memanas” gara-gara para elitnya berseberangan partai. Kasus pesantren di Jawa Timur sangat unik karena banyak pesantren yang para pengelolanya mengalami konflik internal karena di sebuah pesantren saja ada kyai yang di PKB, kemudian kyai satunya di PKNU, satunya lagi PPP, atau di Partai Golkar dan sebagainya. Kran demokrasi era reformasi yang terbuka lebar seakan-akan menjadi kesempatan emas bagi para elit pesantren untuk berkiprah di dunia politik dimana di era Orde Baru akses untuk ini tertutup rapat.
Alam reformasi telah memunculkan sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Amien Rais, pendiri PAN dan mantan Ketua MPR; Abdurrahman Wahid, pendiri PKB sekaligus mantan Presiden RI ke-4; Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS sekaligus Mantan Ketua MPR; Hasyim Muzadi, mantan Ketua PB NU dan mantan Wakil Presiden RI; Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina; dan selainnya adalah beberapa nama tokoh dari dunia pesantren yang aktif berperan dalam pembangunan dan penataan kembali bangsa Indonesia. Hal ini tidak saja menunjukkan kualitas pendidikan pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini.
Setelah lebih dari sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula pesantren berperan bagi pembangunan negara. Dalam kondisi seperti ini posisi pesantren semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat para politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, PKNU dan sebagainya.
Jika kini beberapa gelintir alumni pesantren dituduh terlibat dalam berbagai aksi terorisme, maka tidak pada tempatnya jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupun di masa depan, dinafikan. Jangan-jangan itu hanya rekayasa pihak-pihak yang takut dengan dominasi pesantren di kancah perpolitikan nasional saat ini. Sehingga mereka membuat berbagai fitnah untuk menyudutkan pesantren. Dalam menghadapi isu-isu ini, pemerintah seharusnya tidak perlu lagi mempertanyakan apa peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun pesantren sebagai sebuah kekayaan bangsa yang orisinil.









[1] Drs. Hasbullah…..
[2] Syamsuddin Salim…..
[3] Nurcholis Majid…………
[4] Ibid.
[5] Abdurrahim Ahmad…………….
[6] Ibid
[7] Zubaidi, dkk. ……..
[8] Drs. Hasbullah. …………
[9] Dr. Suryadi Siregar DEA…..
[10] Ibid
[12] Ibid
[13] Dr. Suryadi Siregar DEA…
[14] Dr. Sembodo Adi Widodo, MAg….
[15] Prof.Dr.Azyumardi Azra. 2001…….
[16] Farid Hasyim……
[17] Drs. Hasbullah……….
[18] Zamakhsyari Dhofier…….
[19]Ibid.
[20] Ibid.
[21] Manfred Ziemek……………
[22] Zamakhsyari Dhofier…….
[23] Drs. Hasbullah….
[24] Ahmad Zahro…..
[25] Zamakhsyari Dhofier…..
[26] Drs. Hasbullah…..
[27] Zamakhsyari Dhofier ….
[28] Dra. Zuhairini……
[29] Zamakhsyari Dhofier….
[30] Ibid
[31] Drs. Hasbullah…..
[32] Prof. Naquib al-Attas……
[33] Ulil Amri Syafri …….
[34] Prof. Dr. Nur Syam, MSI…..  
[35] Ach. Atho’ Lukman Hakim……

1 comment:

Silahkan berpendapat

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547