Dalam kurun waktu kurang dari satu dasawarsa terakhir, kenakalan remaja semakin menunjukkan trend yang amat memprihatinkan. Kenakalan remaja yang diberitakan dalam berbagai forum dan media dianggap semakin membahayakan kelangsungan sebuah bangsa. Berbagai macam kenakalan remaja yang ditunjukkan akhir-akhir ini seperti perkelahian secara perorangan atau kelompok, mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian, perampokan, penganiayaan dan penyalahgunaan obat-obatan, semuanya cenderung mengalami peningkatan frekuensi.
Di berbagai kota besar, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ulah remaja belakangan ini makin berani dan lebih mengerikan serta mencemaskan masyarakat. Mereka tidak lagi sekadar ikut terlibat dalam aktivitas nakal seperti membolos sekolah, merokok, minum-minuman keras, atau menggoda lawan jenisnya, tetapi tak jarang mereka terilibat dalam aksi tawuran masal layaknya preman atau terlibat dalam penggunaan NAPZA, terjerumus dalam kehidupan seksual pranikah, dan berbagai bentuk perilaku menyimpang lainnya. Sebuah penelitian di kota Surabaya menemukan bahwa sebagian besar SMU dilaporkan pemah mengeluarkan siswanya lantaran tertangkap basah menyimpan dan mengkonsumsi NAPZA. Sementara itu, di sejumlah kos-kosan, tak jarang ditemukan kasus beberapa ABG menggelar pesta putauw atau narkotika hingga ada salah satu korban tewas akibat over dosis.
Secara sosiologis, remaja umumnya memang amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Karena proses pencarian jati diri, mereka mudah sekali terombang-ambing, dan masih merasa sulit menentukan tokoh panutannya. Mereka juga mudah terpengaruh oleh gaya hidup masyarakat di sekitarnya. Karena kondisi kejiwaan yang labil, remaja mudah terpengaruh dan labil. Mereka cenderung mengambil jalan pintas dan tidak mau pusing-pusing memikirkan dampak negatifnya. Di berbagai komunitas dan kota besar yang metropolitan, jangan heran jika hura-hura, seks bebas, menghisap ganja dan zat adiktif lainnya cenderung mudah menggoda para remaja. Siapakah yang harus dipersalahkan tatkala kita menyumpai remaja yang terperosok pada perilaku yang menyimpang dan melanggar hukum atau paling tidak melanggar tata tertib yang bedaku di masyarakat? Dalam hal ini, ada sejumlah pandangan dan teori yang dapat digunakan untuk memahami kehidupan remaja.
Teori Anomie
Teori ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton dan berorientasi pada kelas. Konsep anomi pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis yaitu Emile Durkheim (1893), yang mendefnisikan sebagai keadaan tanpa norma (deregulation) di dalam masyarakat. Keadaan deregulation atau normlessness tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Oleh Merton konsep ini selanjutnya diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan antara kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok. Dalam teorinya Merton mencoba menjelaskan perilaku deviasi dengan membagi norma sosial menjadi 2 (dua) jenis yaitu tujuan sosial (sociate goals) dan sarana yang tersedia (means). Dalam perkembangannya konsep anomii mengalami perubahan yakni adanya pembagian antara tujuan dan sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Adanya perbedaan kelas sosial menimbulkan adanya perbedaan tujuan dan sarana yang dipilih. Dengan kata lain struktur sosial yang berbeda-beda-dalam bentuk kelas menyebabkan adanya perbedaan kesempatan untuk mencapai tujuan. Kelompok masyarakat kelas bawah misalnya memiliki kesempatan yang lebih kecit dibandingkan dengan kelompok masyarakat kelas atas. Keadaan tersebut yakni tidak meratanya kesempatan dan sarana serta perbedaan struktur kesempatan selanjutnya menimbulkan frustrasi di katangan anggota masyarakat. Dengan demikian ketidakpuasan, frustrasi, konflik, depresi, dan penyimpangan perilaku muncul sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya kesempatan untuk mencapai tujuan. Situasi ini menyebabkan suatu keadaan di mana anggota masyarakat tidak lagi memiliki ikatan yang kuat terhadap tujuan dan sarana yang telah melembaga kuat dalam masyarakat.
Datam konteks ini selanjutnya Robert K. Merton mengemukakan 5 (lima) bentuk kemungkinan adaptasi yang dilakukan setap anggota kelompok masyarakat berkaitan dengan tujuan (goals) dan tata cara yang telah membudaya (means). Pertama, konformitas (conformity), yaitu suatu keadaan di mana anggota masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat sebab adanya tekanan moral yang melingkupinya. Kedua, inovasi (inovation) terjadi manakala tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan dipertahankan tetapi dilakukan perubahan sarana yang dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Ketiga, ritualisme (ritualism) adalah suatu keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun masih tetap memilih sarana atau tata cara yang telah ditentukan. Keempat, penarikan diri (retreatisme) merupakan keadaan di mana warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah tersedia dalam masyarakat. Retreatism ini mencerminkan merekamereka yang terlempar dari kehidupan masyarakat, termasuk diantaranya adalah pengguna alkohol dan pemakai narkoba. Kelima, pemberontak (rebellion), yakni suatu keadaan di mana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak serta berupaya untuk mengganti dan mengubah seluruhnya.
Teori Differential Association
Teori ini dikembangkan oleh E. Suthedand yang didasarkan pada arti penting proses belajar. Menurut Sutherland perilaku menyimpang yang dilakukan remaja sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang melandasinya adalah 'a criminal act occurs when situation apropriate for it, as defined by the person, is present’ (Rose Gialombardo; 1972).[1] Selanjutnya menurut Sutherland perilaku menyimpang dapat ditinjau melalui sejumlah proposisi guna mencari akar permasalahan dan memahami dinamika perkembangan perilaku. Proposisi tersebut antara lain: Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari secara negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik). Jika ada salah satu anggota keluarga yang berposisi sebagai pemakai maka hal tersebut lebih mungkin disebabkan karena proses belajar dari obyek model dan bukan hasil genetik. Kedua, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan orang lain dan proses komunikasi dapat bedangsung secara lisan dan melalui bahasa isyarat. Ketiga, proses mempelajari perilaku biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Remaja dalam pencarian status senantiasa dalam situasi ketidaksesuaian baik secara biologis maupun psikologis. Untuk mengatasi gejolak ini biasanya mereka cenderung untuk kelompok di mana ia diterima sepenuhnya dalam kelompok tersebut. Termasuk dalam hal ini mempelajari norma-norma dalam kelompok. Apabila kelompok tersebut adalah kelompok negatif niscaya ia harus mengikuti norina yang ada. Keempat, apabila pediaku menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang dipelajari metiputi: teknik melakukannya, motif atau dorangan serta alasan pembenar termasuk sikap. Kelima, arah dan motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan memandang hukum sebagai sesuatu yang pedu diperhatikan dan dipatuhi. Tetapi kadang sebaliknya, seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang memandang bahwa hukum sebagai sesuatu yang memberi paluang dilakukannya perilaku menyimpang. Penerapan hukum dan wibawa aparat yang rendah membuat orang memandang bahwa apa yang dilakukannya bukan merupakan pelanggaran yang berat. Keenam, seseorang menjadi delinkuen karena ekses dari pola pikir yang lebih memandang aturan hukum sebagai pemberi peuang dilakukannya penyimpangan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhalikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas dan intensitasnya. Delapan, proses mempelajari perilaku menyimpang yang dilakukan remaja menyangkut seluruh mekanisme yang lazim tedariai dalam proses belajar. Terdapat stimulus-sbmulus seperti: keluarga yang kacau, depresi, dianggap berani oleh teman dan sebagainya merupakan sejumlah eleman yang memperkuat respon. Sembilan, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja merupakan pemyataan akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai yang umum.
Teori Kenakalan Remaja menurut Albert K. Cohen
Fokus perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku delinkuen banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah yang kemudian membentuk 'gang'. Perilaku delinkuen merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang cenderung mendominasi. Karena kondisi sosial ekonomi yang ada dipandang sebagai kendala dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan sesuai dengan keinginan mereka sehingga menyebabkan kelompok usia muda kelas bawah ini mengalami 'status frustration'. Menurut Cohen para remaja umumnya mencari status. Tetapi tidak semua remaja dapat melakukannya karena adanya perbedaan dalam struktur sosial.[2]
Remaja dari kelas bawah cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan simbolis. Selama mereka berlomba dengan remaja kelas menengah kemudian banyak yang mengalami kekecewaan. Akibat dari situasi ini anak-anak tersebut banyak yang membentuk 'gang' dan melakukan perilaku menyimpang yang bersifat 'non multilitarian, nonmalicious and nonnegativistick’. Cohen melihat bahwa perilaku delinkuen merupakan bentukan dari subkulktur terpisah dari sistem tata nitai yang berlaku pada masyarakat luas. Sub kultur merupakan sesuatu yang diambil dari norma budaya yang lebih besar tetapi kemudian dibelokkan secara berbalik dan berlawanan arah. Perilaku delinkuen selanjutnya dianggap benar oleh sistem tata nilai sub budaya mereka, sementara perilaku tersebut dianggap keliru oleh norma budaya yang lebih besar dan berlaku di masyarakat.
Teori Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
Cloward dan Ohlin berpendapat bahwa terdapat lebih dari satu cara bagi para remaja untuk mencapai aspirasi dan keinginannya. Pada masyarakat urban yang merupakan wilayah kelas bawah terdapat berbagai kesempatan yang sah, yang dapat menimbulkan berbagai kesempatan. Dengan demikian kedudukan dalam masyarakat menentukan kemampuan untuk berpartisipasi dalam mencapai sukses baik melalui kesempatan konvensional maupun kesempatan kriminal.
Menurut Cloward dan Ohlin terdapat 3 jenis sub kultur tipe gang kenakalan remaja. Pertama, criminal subculture, bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan beriaku sebagai kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan organisasi kriminal.
Kriminal sub kultur lebih menekankan pada aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi dan beruisaha menghindari kekerasan. Kedua, a retreatist subculture. Sub kultur jenis ini lebih banyak melakukan kegiatan mabuk-mabukan dan aktvitas gang lebih mengutamakan pemcarian uang untuk tujuan mabuk-mabukan termasuk juga melakukan konsumsi terhadap NAPZA. Ketiga, conflict sub culture. Dalam mansayrakat yang tidak terintegrasi akan menyebabkan lemahnya organisasi. Gang tipe ini akan memperlihatkan perilaku yang bebas. Kekerasan, perampasan,hak milik dan perilaku lain menjadi tanda gang tersebut. Para remaja akan metakukan kenakalan jika menghadapi keadaan tegang, menghadapi tekanan-tekakan serta keadaan yang tidak normal.
Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza dan Sykes
Menurut teori ini orang yang melakukan perilaku menyimpang disebabkan adanya kecenderungan untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi dan kepentingan mereka sendiri. Penyimpangan perilaku dilakukan dengan cara mengikuti arus pelaku lainnya melalui sebuah proses pembenanan (netralisasi). Berbagai bentuk netralisasi yang muncul pada orang yang melakukan perilaku menyimpang. Pertama, the denial of responsibility, mereka menganggap dirinya sebagai korban dah tekanan-tekanan sosial, misalnya kurangnya kasih sayang, pergaulan dan lingkungan yang kurang baik dan sebagainya. Kedua, the denial of injury, mereka berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar di masyarakat. Ketiga, the denial of victims, mereka biasnaya menyebut dirinya sebagai pahlawan atau the evenger, dan menganggap dirinya sebagai orang yang baik dan bedasa. Keempat condemnation of the condemner, mereka beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang yang munafik, hipokrit atau pelaku kejahatan terselubung. Kelima, appeal to higher loyalitiy, mereka beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat luas dan hukum dengan kepentingan kelompok kecil atau minoritas darimana mereka berasal atau tergabung misalnya kelompok gang atau saudara kandung.
Teori Kontrol
Teori kontrol beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya yakni dalam hal tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku individu di dalam sebuah masyarakat sangat bergantung pada kondisi masyarakatnya yang menjadi komunitasnya. Artinya perilaku baik dan tidak baik diciptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan, 1987). Selanjutnya penganut paham ini berpendapat bahwa ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku menyimpang termasuk penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Seseorang yang terlepas ikatan sosial dengan masyarakatnya akan cenderung berperilaku bebas untuk melakukan penyimpangan. Jika dalam masyarakat lembaga kontrol sosial tidak berfungsi secara maksimal niscaya akan mengakibatkan melemahnya atau terputusnya ikatan sosial anggota masyarakat dengan masyarakat secara keseluruhan dan akibatnya anggota masyarakat akan leluasa untuk melakukan perilaku menyimpang. Menurut Hirschi (1988) terdapat 4 (empat) unsur dalam ikatan sosial antara lain:[3]
Pertama, attachment, mengacu pada kemampuan seseorang untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Jika attachment sudah terbentuk maka seseorang akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Terdapat 2 jenis attachment yaitu total dan partial. Attachment total terjadi jika seseorang berhasil melepas rasa ego dalam dirinya sehingga yang muncul adalah rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan ini kemudian mendorong seseorang untuk mentaati aturan sebab jika melanggar berarti menyakiti orang lain. Sedangkan attachment partial merupakan hubungan seseorang dengan orang lain, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan orang lain tetapi karena hadirnya orang lain yang mengawasi. Dengan demikian attachment total akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi perilaku. Sedangkan attachment partial akan menimbulkan kepatuhan ketika ada orang lain yang mengawasi.
Kedua, commitment, mengacu pada keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti lembaga, sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Perhitungan untung rugi keterlibatan seseorang dalam perilaku menyimpang sangat diperhatikan. Artinya ketika lembaga atau pekerjaan memberikan manfaat dan keuntungan bagi seseorang maka kecil kemungkinan untuk melakukan perilaku menyimpang.
Ketiga, involvement, mengacu pada suatu pemikiran bahwa apabila seseorang disibukkan atau berperan aktif dalam berbagai kegiatan konvensional atau pekerjaan maka ia tidak akan sempat berpikir apalagi terlibat dalam perilaku menyimpang.
Keempat, beliefs, mengacu pada kepercayaan atau keyakinan seseorang pada nilai atau kaidah kemasyarakatan yang berlaku. Kepercayaan terhadap norma atau aturan yang ada akan sangat mempengaruhi seseorang bertindak mematuhi atau melawan peraturan yang ada.
Hirschiberpendapat bahwa keempat unsur ikatan sosial tersebut harus terbentuk dalam masyarakat. Jika unsur-unsur tersebut tidak terbentuk maka penyimpangan perilaku termasuk penyalahgunaan berbagai jenis narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya berpeluang besar untuk dilakukan oleh masyarakat luas khususnya para remaja atau mereka yang berada pada taraf awal kedewasaan. [4]
Penutup
Teori manakah yang paling tepat dipergunakan untuk memahami kehidupan remaja saat ini, sudah tentu tergantung pada konteks dan cara pandang yang kita pakai. Tetapi, terlepas dari itu semua, yang penting bahwa untuk memahami dunia remaja yang dibutuhkan adalah kesediaan kita untuk mengerti apa sebetulnya keinginan, harapan, idiom, dan dunia kehidupan mereka. Tanpa adanya pemahaman yang mendalam terhadap kehidupan remaja tersebut, niscaya yang kita lakukan hanyalah aksi-aksi untuk menghakimi atau sekadar menyalahkan mereka sebagai anak nakal yang tak patuh pada nasehat orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Bagong Suyatno. Memahami Remaja Dari Berbagai Perspektif Sosiologis. Makalah Seminar
Cahyaningsih, N. 1999. Persepsi Remaja Terhadap Gaya Pengasuhan Orang Tua dan Hubungannya Dengan Kenakalan Remaja SMU di Jakarta Pusat. Skripsi S1. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Institut Pertanian Bogor.
Conger, R.D. & Elder, G.H. 1994. Families in Troubled Times: Adapting to Change in Rural America. Aldine De Gruyter. New York.
Gunarsa, S.D., & Gunarsa, Y. 1995. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. PT BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Pulungan, W. 1993. Pola Asuh Orangtua dengan Kecenderungan Tingkah Laku Pro-Sosial pada Remaja. Thesis yang tidak dipublikasikan. Fakultas Psikologi UI, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Edisi Keempat. Yogyakarta: Liberty.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat