Pendahuluan
Fenomena Golongan Putih (golongan yang tidak memilih dalam pemilu) di Indonesia sudah ada sejak awal dasawarsa 1970-an dimana Arief Budiman dan kawan-kawan yang merasa bahwa pemerintahan Orde Baru waktu itu sangat otoriter mengabaikan diri dari pemilu. Karena merasa tidak sependapat dengan sistem pemilihan umum pada waktu itu, mereka memilih untuk tidak terlibat dalam pesta demokrasi lima tahunan dengan langkah konkrit berupa tidak menghadiri TPS atau tidak mencoblos. Kini setelah 30 tahun berselang, fenomena golput bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan sudah dianggap sebagian orang sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri.
Adanya anggapan bahwa golput merupakan bagian dari demokrasi dan kondisi politik Indonesia saat ini mengakibatkan meledaknya kuantitas golput baik pada pemilu legislatif 5 April 2004 maupun pemilu presiden putaran pertama 5 Juli 2004. Dalam pemilu legislatif kemarin, menurut berbagai sumber ada lebih dari 15% pemilih yang golput. Pada pemilu presiden putaran I pemilih yang tidak menggunakan hak pilih (golput) pada tangggal 5 Juli 2004 kemarin diperkirakan mencapai 20 sampai 30%. Dari sini dapat diketahui bahwa presentase golput pada pemilu presiden dan wakil presiden mengalami peningkatan yang signifikan.
Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ramlan Subakti, menyebutkan beberapa faktor yang menjadi pemicu naiknya presentase golput. Pertama, pemungutan suara bertepatan dengan libur sekolah sehingga pemilih lebih memilih berlibur sekalian. Kedua, tingginya ghost voter atau pemegang hak pilih, tetapi tidak memenuhi syarat memilih. Misalnya usia di bawah 17 tahun, meninggal dunia, atau pindah domisili. Ketiga, sikap tak acuh dari pemegang hak pilih, karena merasa tidak ada manfaat menggunakan hak pilihnya.
Hasil Pilpres putaran I menunjukkan popularitas Megawati anjlok. Targetnya bisa menang dalam sekali putaran tidak terbukti. Malahan Megawati dikalahkan SBY yang didukung partai kecil (Partai Demokrat) dengan cukup mengejutkan, di mana ia meraih 33,58% suara (data KPU). Sedangkan Megawati hanya 26,29%, Capres lainnya Wiranto 22,21%, Amien Rais 14,87% dan Hamzah Haz 3,06%.
Pada putaran kedua 20 September nanti SBY akan berhadapan dengan Megawati untuk menentukan RI 1. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah akan dikemanakan suara yang telah diberikan kepada Wiranto, Amien Rais, dan Hamzah Haz? Apakah mereka akan tetap memilih salah satu dari kedua pasangan yang tersisa? Atau malah menjadi golput?
Tentu saja kita tidak berharap, pendukung masing-masing Capres dan Cawapres yang tersisih frustrasi sehingga memilih golput, seperti sudah diutarakan sejumlah pendukung Amien Rais di Sumatera Utara. Banyak kalangan pendukung dan pemilih pasangan Capres Amien Rais dan Cawapres Siswono Yudhohusodo akan mengambil sikap golput atau tidak memberikan aspirasi suaranya pada pemilihan presiden pada putaran kedua bila pada putaran pertama pasangan tersebut gagal lolos ke putaran kedua. "Kami lebih baik akan bersikap golput dan tidak menyalurkan aspirasi politik bila pasangan Amien-Siswono tidak bisa masuk ke putara kedua," kata sejumlah karyawan swasta di Medan dan Deli Serdang. Hal sama juga banyak dikemukakan oleh para simpatisan mahasiswa dan pelajar SLTA yang mengaku pada Pilpres 5 Juli 2004 mencoblos pasangan Amien-Siswono.
Menyikapi meledaknya fenomena golput ini, maka Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai status golput dalam pemilu, terutama dalam pemilu presiden 2004 putaran kedua yang akan dilaksanakan pada 20 September 2004 mendatang.
Akar Persoalan Golput di Indonesia
Pada dasarnya golput dapat digolongkan kedalam beberapa bentuk dan cara; berupa:
1. merusak kartu suara, misalnya dengan mencoblos lebih dari satu gambar pilihan.
2. membiarkan kartu suara tidak dicoblos.
3. tidak mendatangi tempat pemungutan suara.
Sedangkan jika diklasifikasikan berdasarkan spiritnya, golput dapat dilakukan dengan: pertama, cara tidak sengaja yang terjadi karena alasan teknis administratif semata, misalnya lupa, belum terdaftar, atau dalam keadaan darurat yang tidak dikehendaki. Kedua, ketidakpedulian politik (apatisme) yang biasanya terjadi karena berpendirian bahwa pemilu bukan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan dirinya secara langsung, dan ketiga , semangat kesengajaan yang biasanya dilandasi oleh prinsip perlawana (pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan mekanisme dan sistem pemilu, tidak sesuai dengan partai kontestan, maupun karena melihat adanya fakta-fakta manipulasi.
Secara historis, istilah GOLPUT adalah istilah yang dimunculkan oleh Arief Budiman pada tahun 1971. Menurut Suparman Marzuki, Ketua KPU DIY, GOLPUT dalam konteks Arief Budiman tersebut tidak sama dengan “Tidak Menggunakan Hak Pilih”, sebab GOLPUT merupakan reaksi politik atau lebih tepatnya penolakan politik yang secara konkrit tampak pada keengganan untuk ikut serta menggunakan hak pilih dalam pemilu. Golput saat itu menjadi pilihan karena pemilu pada masa itu tidak demokratis. Ketidakdemokratisan penyelenggaraan pemilu pada waktu itu disebabkan karena telah terbentuk sistem kepartaian yang hegemonik atau hegemonic party system (HPS). Dalam sistem kepartaian yang hegemonik, keberadaan partai-partai politik dan organisasi sosisal diakui tetapi peranannya dibuat seminimal mungkin.
Sistem kepartaian yang hegemonik pada masa Orde Baru telah mengakibatkan terjadinya keterpasungan. Hal itu diawali dengan munculnya gagasan-gagasan yang menghendaki disederhanakannya partai-partai politik yang ada pada waktu itu, bahkan gagasan yang menonjol pada masa itu adalah perombakan struktur politik ke arah sitem dwi partai. Pada akhir tahun 1970, Presiden Soeharto di hadapan 9 (sembilan) partai politik menganjurkan agar dilakukan pengelompokan partai dengan alasan untuk mempermudah pemilu. Saat itulah golput mulai dikumandangkan oleh salah seorang pelopornya, yaitu Arief Budiman. Meskipun gerakan ini tidak terorganisir dan merupakan gerakan kultural, fakta menunjukkan bahwa golput selalu hadir dalam pemilu-pemilu berikutnya.
Golput; Antara Hak dan Pembangkangan
Merunut pada akar persoalan golput di Indonesia, golput yang masuk dalam kategori pembangkangan adalah golput yang didasarkan atas semangat kesengajaan dan dilandasi prinsip perlawanan (pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan sistem pemilu, tidak sesuai dengan partai kontestan, atau karena melihat adanya fakta-fakta manipulatif. Mengingat konfigurasi politik Orde Baru merupakan konfigurasi yang otoriter, maka sikap dan tindakan warga negara untuk golput atau bergabung dengan golongan atau kelompok oposisi adalah suatu keniscayaan dan konstitusional menurut prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Karena pelaksanaan sistem ketatanegaraan Indonesia pada masa Orde Baru tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis, maka di masa itu terminologi oposisi yang bisa disematkan pada golput menjadi sebuah kewajiban politik dalam menentang sistem politik yang otoriter.
Menurut Jimly As Shiddiqie, Indonesia sebagai negara hukum di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem yang diatur UUD, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak penguasa. Konsekuensi yuridisnya adalah sikap dan tindakan golput (oposisi) dalam pemilu itu merupakan hak yang komstitusional (pasal 28 E ayat (3) UUD 1945), bahkan bisa mengarah kepada suatu kewajiban politik yang konstitusional ( Pasal 27 ayat (3) UUD 1945) apabila sikap dan tindakan golput (oposisi) tersebut merupakan respon terhadap sistem politik yang otoriter sebagaimana telah dipraktikkan oleh rezim Orde Baru.
Persoalannya sekarang adalah masih relevankah sikap dan tindakan golput itu dalam menghadapi pemilu 2004, terutama menjelang PILPRES putaran II? Prof. Dr. Dahlan Thaib, SH. Msi dalam menanggapi persoalan ini menyatakan, memilih presiden langsung dalam kerangka konstitusional , baik dipandang dari paradigma kedaulatan rakyat, paradigma negara hukum, paradigma check and balances, dan paradigma HAM merupakan wujud demokrasi rakyat yang sesungguhnya. Oleh karena itu, seharusnya bisa dijadikan kesempatan yang bagus oleh rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam memilih pemimpin bangsa ini. Sebab dalam kehidupan berbangsa, baru sekarang inilah rakyat bisa menentukan pemimpin bangsa secara langsung sehingga jangan ada rakyat yang menyia-nyiakan kesempatan ini.
Prof. Dr. Ir. H. Marlis Rahman, MSc., Ketua Forum Rektor Indonesia, meminta seluruh rakyat indonesia untuk tidak golput pada PILPRES putaran II, karena sikap golput selain merugikan diri sendiri dan menodai demokrasi juga tidak mendidik rakyat. Masih menurut beliau, jika menginginkan Indonesia menjadi sebuah negara yang demokratis dan diterima masyarakat internasional, pilihan golput harus dihindari. Bahkan Prof. Syafi’I Ma’Arief menganjurkan kepada seluruh warga Muhammadiyah untuk tidak golput karena menggunakan hak pilih merupakan wujud akuntabilitas politik yang obyektif kepada bangsa , sekaligus pertanggungjawaban amanah kepada Allah SWT dalam menentukan arah masa depan bangsa Indonesia.
Menurut Drs. Muntoha, SH., M. Ag, berdasarkan berbagai tanggapan yang muncul atas mencuatnya wacana golput akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa kecenderungan sikap dan tindakan golput menjelang PILPRES putaran II adalah sikap dan tindakan yang tidak relevan. Arief Budiman sendiri yang merupakan penggagas golput di era Orde Baru menyatakan bahwa pilihan menjadi golput pada pemilu 2004 sudah berbeda dengan pemilu masa Orde Baru. Pada pemilu Orde Baru , golput diibaratkan sebagai sebuah kewajibam politik yang merupakan bentuk protes atas sitem yang tidak demokratis. Namun, kini golput menjadi hal yang tidak relevan karena dunia politik sudah memberi tempat yang luas bagi aspirasi rakyat. Disamping itu, sejak tahun 1998 telah terjadi pergeseran dari sistem ketatanegaraan yang berkarakter otoritarian menuju perwujudan ketatanegaraan yang demokratis dengan dikeluarkannya Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, yang antara lain telah disepakati bahwa pemerintah harus menghormati asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial-politik dan organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Dengan bergesernya sistem ketatanegaraan Indonesia menuju perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis maka bisa dikatakan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia telah berada di jalur yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, dan terminologi golput dalam bentuk pembangkangan tidak relevan lagi.
Penutup
Walaupun sikap dan tindakan golput pada prinsipnya adalah hak dan dibenarkan secara hukum, tetapi mengingat agenda politik kedepan adalah penentuan kepemimpinan nasional yang membutuhkan partisipasi aktif dari warga negara, maka peran serta warga negara dalam menyalurkan aspirasi politiknya sangat diperlukan. Perlu diingat pula bahwa partisipasi aktif dari warga negara dalam hal ini merupakan hak negara (state right). Jika peran serta dari warga negara dalam menyalurkan aspirasinya terhambat akan menodai demokratisasi dalam pemilihan yang berlangsung. Artinya, jika wacana golput benar-benar terjadi dalam kuantitas yang besar pada PILPRES tahap II, dan jumlahnya mencapai di atas 50% berarti golput telah mendelegitimasi pemilu. Akibatnya, pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih tidak memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Jika hal ini terjadi maka golput yang pasa dasarnya merupakan hak dan dibenarkan secara hukum telah bergeser menjadi sebuah wujud pembangkangan terhadap negara.
Tulisan ini telah dipublikasikan dalam:
1. Newslatter Analisis Pusat Studi Hukum FH UII, edisi X No. 1 Tahun 2004
2. Website http://www.ppuii.com
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat