Pengertian dan Hukum Shalat Tarawih dan Witir
Kata tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Selanjutnya perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat dinamai duduk tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam ramadhan. Hukum menjalankan shalat tarawih di bulan ramadhan adalah sunnah muakkadah.
Witir artinya ganjil. Maka shalat witir jumlah rakaatnya minimum 1 (satu) rakaat dan yang paling sering dilakukan nabi adalah 3 (tiga) rakaat. Rosululloh bersabda:
"Barangsiapa ingin witir 5 rakaat silahkan, barangsiapa ingin witir 3 rakaat silahkan dan barangsiapa ingin witir 1 rakaat silahkan". (HR. Abu Dawud)
Jika witir dilakukan lebih dari 3 (tiga) rakaat, maka dilakukan setiap dua rakaat salam dan diakhiri dengan satu rakaat. Bila melaksanakan 3 (tiga) rakaat boleh dilakukan langsung 3 (tiga) rakaat dengan satu salam atau dilakukan dengan dua rakaat salam lalu ditambah satu rakaat lagi, karena ada hadist yang mengatakan:
"Janganlah menyamakan witirmu dengan Maghrib". (HR. Baihaqi).
Shalat witir disunnahkan setiap hari dan tidak hanya pada bulan ramadhan saja.Waktunya adalah mulai setelah shalat Isya' sampai dengan shalat subuh. Shalat witir tidak disunnahkan berjamaah, kecuali bila bersama dengan shalat tarawih. Surat yang disunnahkan dibaca dalam witir 3 rakaat adalah "Sabbih-isma Rabiika", Al-Kafiruun dan rakaat ketiga al-Ikhlas dan Muawwidzatain (An Nas dan Al Falaq). Dalam hadits juga ada keterangan:
Dari Ubay Bin Ka’ab, ia berkata:“Sesungguhnya Nabi biasa membaca dalam shalat witir: Sabbihis marobbikal a’la (di raka'at pertama -red), kemudian di raka'at kedua: Qul yaa ayyuhal kaafiruun, dan pada raka'at ketiga: Qul huwallaahu ahad, dan beliau tidak salam kecuali di raka'at yang akhir.” (Hr. Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Dalam witir juga disunnahkan melakukan qunut seperti qunut shalat subuh bagi yang melakukannya. Artinya shalat witir dengan tanpa qunut juga tidak apa-apa. Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu dan tata cara qunut dalam witir. Madzhab Syafi’i mengatakan qunut dalam witir hanya dilakukan pada pertengahan kedua bulan Ramadhan, tempatnya setelah saat i'tidal sebelum sujud pada rakaat terakhir, sesuai yang dilakukan Ubay bib Ka'b. Madzhab Hanafi melakukan qunut pada setiap shalat witir sebelum ruku' setelah membaca surah pada rakaat terakhir. Hanbali melakukan qunut setiap witir bulan ramadhan dengan tata cara seperti madzhab Syafi'i.
Bilangan Rakaat Shalat Tarawih dan Witir
Sudah masyhur di kalangan kita bahwa shalat tarawih dan witir itu biasa dikerjakan sebanyak 11 rakaat sebagaimana disandarkan pada hadits dari Aisyah:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim).
Hadits di atas keshahihannya diakui sahnya oleh pengajar-pengajar hadits tetapi ada pertentangan makna dengan hadits-hadits shahih lain yang menerangkan bahwa shalat tarawih itu dua rakaat-dua rakaat.
Ada juga hadits yang menyebutkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih Rasulullah SAW adalah 8 rakaat akan tetapi sanadnya cacat:
“Rasulullah SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”. (HR Ibnu Hibban,Ibnu Khuzaimah)
Hadits ini diriwayatkan Ja‘far bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar al-Hadis (Hadis-hadisnya munkar). Adapun menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta.
Di sisi lain, ada juga hadits yang menjelaskan bahwa rasulullah bertarawih dengan 20 rakaat:
Dari Ibn Abbas, ia berkata, “Nabi SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”. (HR al Thabrani)
Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadits-haditsnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu' (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).
Ada juga hadits yang diriwayatkan oleh al Baihaqi dari Ibnu Abbas:
Telah berkata Ibn Abbas, bahwa Nabi SAW pernah melakukan shalat pada bulan Ramadha, dengan tidak berjamaah dua puluh rakaat dan witir”. (HR al Baihaqi)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Abu Salim Ar Razi di fasal Babut-targhib, dengan sedikit tambahan. Tetapi hadits ini dlaif disebabkan di dalam sanadnya ada Abu Syaibah bin Utsman yang lemah dan tidak boleh dipercaya.
Sebagaimana uraian di atas, menurut sebagian ulama hadits tidak ada satu pun hadits yang derajatnya mencapai shahih tentang jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, begitu juga pendapat Al-Ustadz Ali Mustafa Ya'qub, MA, seorang pakar di bidang ilmu hadits. Kalau pun ada yang shahih derajatnya, namun dari segi istidlalnya tidak menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih. Sedangkan hadits yang derajatnya sampai kepada keshahihan, hanyalah hadits tentang shalat malam yang dilakukan oleh rasulullah SAW, di mana Aisyah meriwayatkan secara shahih bahwa shalat malam yang dilakukan oleh beliau hanya 11 rakaat.
Dari Ai'syah ra, "Sesungguhnya Nabi SAW tidak menambah di dalam bulan ramadhan dan tidak pula mengurangkannya dari 11 rakaat. Beliau melakukan sholat 4 rakaat dan janganlah engkau tanya mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian beliau akan kembali sholat 4 rakaat dan jangan engkau tanyakan kembali mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian setelah itu beliau melakukan sholat 3 rakaat. ..... (HR Bukhari).
Tentunya beliau melakukan sholat 4 rakaat di sini tidak mesti bertentangan dengan yang melakukan salam setiap 2 rakaat sebab beliau juga bersabda, "Sholat di malam hari 2 rakaat 2 rakaat”. Oleh sebagian ulama dijelaskan bahwa yang dimaksud 4 rakaat adalah 2 rakaat kemudian salam langsung menambah 2 rakaat lagi dan salam baru kemudian intirahat (tarwihah). Dan 3 rakaat untuk witir pun tidak mesti dengan hanya satu salam, sebab ada keterangan bahwa Nabi witir 3 rakaat dengan cara 2 rakaat lalu salam dan segera ditambah 1 rakaat.
Perlu diingat bahwa dalam hadits shahih Bukhari di atas, Aisyah ra sama sekali tidak secara tegas mengatakan bahwa 11 rakaat yang dimaksud dalam hadits itu adalah jumlah rakaat shalat tarawih. Yang berkesimpulan demikian adalah para ulama yang membuat tafsiran secara subjektif untuk mendukung pendapat yang mengatakan shalat tarawih itu 11 rakaat.
Adapun menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 rakaat, jumlah 11 rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Karena shalat tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah. Sehingga bagaimana mungkin Aisyah ra meriwayatkan hadits tentang shalat tarawih beliau?
Bagi para ulama tersebut, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah rakaat shalat tarawih, melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah rakaat shalat malam beliau, baik di dalam bulan ramadhan dan juga di luar bulan ramadhan.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah mengapa di dalam tubuh umat Islam masih ada perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat tarawih. Yang menarik, para ulama di masa lalu tidak pernah saling mencaci atau menjelekkan meski berbeda pendapat tentang jumah rakaat shalat tarawih.
Kebanyakan ulama menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut dengan metode al-Jam’u. Metode al-Jam’u adalah “menggabungkan” yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu. Mereka tidak melakukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang paling shahih serta meninggalkan riwayat yang lain yang di anggap lebih lemah). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:
- Imam Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Boleh shalat tarawih 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113, silahkan periksa juga kitab Al-Ikhtiyaaraat halaman 64).
- Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.
- Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”
Jika Shalat Lagi Setelah Witir
Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang yang berwitir pada awal malam lalu tidur dan bangun di akhir malam dan melakukan sholat. Sebagian ulama berpendapat bahwa batal witir yang telah dilakukannya pada awal malam dan di akhir malam ia menambahkan satu rakaat pada sholat witirnya, karena ada hadist yang mengatakan "tidak ada witir dua kali dalam semalam". Witir artinya ganjil, kalau ganjil dilakukan dua kali menjadi genap dan tidak witir lagi, maka ditambah satu rakaat agar tetap witir. Pendapat in diikuti imam Ishaq. Redaksi hadist tersebut sbb:
Dari Qais bin Thalk berkata suatu hari aku kedatangan ayahnya Thalq bin Ali di hari Ramadhan, lalu beliau bersama kita hingga malam dan sholat (Tarawih) bersama kita dan berwitir juga. Lalu beliau pulang ke kampungnya dan mengimam sholat lagi dengan penduduk kampung hingga sampailah sholat witir, lalu beliau meminta seseorang untuk mengimami shalat witir "berwitirlah bersama makmum" aku mendengar Rauslullah s.a.w. bersabda "Tidak ada witir dua kali dalam semalam" (H.R. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, Ahmad dll.)
Pendapat kedua mengatakan tidak perlu witir lagi karena sudah witir di awal malam. Ia cukup sholat malam tanpa witir. Alasannya banyak sekali riwayat dari Rasulullah s.a.w. mengatakan bahwa beliau melakukan sholat sunnah setelah witir. Pendapat ini diikuti Malik, Syafii, Ahmad, Sufyan al-Tsuari dan Hanafi.
Menyikapi Masalah Khilafiyah di Seputar Ramadhan
Anda para calon santri hijrah, di tempat hijrah bisa jadi anda akan mendapati amalan-amalan yang berbeda dengan yang anda terapkan di Al Hikmah. Diantaranya:
1. pengucapan lafadz niat (Usholly, nawaitu, dll)
2. adanya bilal/penyeru yang mengomandoi shalat tarawih dan witir
3. doa bersama dipimpin imam setelah shalat selesai, dll
Amalan-amalan tersebut memang tidak ada sandarannya dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Tetapi sikap kita tidak serta-merta menyalahkan yang seperti itu dan menganggap sesat dan pelakunya akan masuk neraka. Itu bukan kapasitas kita. Tugas kita adalah memahamkan kepada masyarakat bahwa amalan-amalan tersebut bukan bagian yang menjadi satu kesatuan dengan ritual shalat tarawih. Artinya tanpa amalan-amalan tersebut shalat tarawih tetap sah. Tetapi kalau ada yang menganggap bahwa amalan-amalan tersebut merupakan satu kesatuan dengan ritual shalat tarawih, maka kita harus tegas mengatakan TIDAK.
Sepanjang amalan tersebut tidak diyakini sebagai satu kesatuan dengan ritual shalat tarawih maka hal itu biarlah tetap dilakukan sepanjang ada manfaatnya. Contohnya berdoa bersama setelah shalat tarawih dan witir, sering kali justru menjadi wahana dan media belajar bagi makmum untuk menghafal doa-doa.
Tentunya kita juga harus berharap agar semakin hari sunah-sunah rosulullah bisa tegak di muka bumi ini. Kita juga berdoa semoga umat Islam bisa kembali bersatu dalam ukhuwah islamiyyah yang diberkahi oleh Allah SWT.
WALLOHU ‘A’LAM
DAFTAR REFERENSI
- Kumpulan Makalah Tulisan R. Handanawirya (Alumni Ma’had Ilmi) dan Ustadz Aris Munandar
- Majalah As-Sunnah Edisi 07/1424H/2003M
- Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah
- Nailul Authar Jilid 3
- Qiyaamur Ramadhan li Syaikh Al-Albany
- Shohih Muslim
- Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
- SifatTarawih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Ahmad Hassan
- Sunan Ibnu Majjah
- Tata Cara Shalat Malam Nabi oleh Ustadz Arif Syarifuddin, Lc
[1] Disampaikan dalam Pembekalan Santri Hijrah. Pondok Pesantren AlHikmah Sumberjo Karangmojo,Gunungkidul Tahun 2009
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat