Thursday, April 7, 2011

Timor Gap Treaty 1989 dan Implikasinya bagi Timor Timur

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 27 Agustus 1975, di tengah pertempuran antara kelompok yang Pro Indonesia dengan Fretilin, gubernur Portugal berserta stafnya, para dokter dan anggota militer secara diam-diam meninggalkan Dili di tengah malam menuju ke pulau Atauro di lepas pantai Timor, di mana mereka tinggal sampai bulan Desember 1975, sebelum bertolak ke Portugal. Sejak Agustus 1975 tidak ada lagi pemerintahan Portugal. Penyerahan kekuasaan tidak pernah diadakan, dekolnisasi tidak pernah diselesaikan.

Intervensi militer Indonesia, bersama-sama dengan penolakan Portugal untuk kembali, memaksa Fretilin untuk memproklamasikan Republik Demokrasi Timor Leste pada tanggal 28 Nopember 1975. Pada hari berikutnya, 29 Nopember 1975, partai UDT dan Apodeti mengadakan Deklarasi Balibo sebagai tindakan balasan. Peperangan besar-besaran berlanjut selama empat tahun, 1975-1979.

Pada tanggal 31 Mei 1976 suatu 'Tindakan Integrasi' diadakan di Dili. Pemerintah sementara menyelenggarakan suatu sidang Majelis Rakyat Regional, di mana 28 orang delegasi yang ditunjuk dalam suatu upacara singkat menandatangani suatu petisi yang meminta Soeharto untuk memberikan integrasi. Akhirnya pada tanggal 17 Juli 1976, Presiden Soeharto menandatangani Rancangan Undang-undang Integrasi yang secara aklamasi disetujui oleh Parlemen dua hari sebelumnya, yang secara resmi memasukkan Timor Leste ke dalam wilayah Indonesia sebagai propinsinya yang ke 27.

Kini, setelah 20 tahun berlalu, bangsa Indonesia sedang dilanda krisis multi dimensional. Selama kurun waktu tersebut banyak upaya-upaya dari pihak-pihak yang pro kemerdekaan Timor Leste untuk tetap memisahkan diri dari Indonesia. Penantian mereka ini menuai hasil ketika presiden BJ. Habibie memberikan peluang diadakannya referendum setelah melihat Timor Leste penuh gejolak.

Berdasarkan hasil jajak pendapat rakyat Timor Leste yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999, yang kemudian hasilnya diumumkan pada tanggal 4 September 1999, tujuh puluh sembilan persen (79%) rakyat Timor Leste lebih memilih opsi yang kedua daripada opsi yang pertama. Dengan kata lain, rakyat Timor Leste lebih menghendaki adanya pemisahan dari Indonesia atau berkeinginan untuk merdeka, daripada diberikan status khusus dengan otonomi luas. Berdasarkan hasil jajak pendapat inilah maka Kemudian Timor Leste mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2000.

Bersandar pada konsepsi hukum internasional, lahirnya sebuah negara sebagai negara baru yang memisahkan diri dari negara asalnya (baca: suksesi negara), secara fundamental akan memberikan dua konsekuensi yuridis. Yaitu, pertama bahwa negara baru memiliki kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya yang baru, dan konsekuensi yang kedua adalah bahwa negara lama telah kehilangan kedaulatannya atas wilayah negara yang baru. Dari kedua konsekuensi yuridis tersebut kemudian lahirlah konsekuensi-konsekuensi yuridis lainnya. Yaitu, seperti hutang-hutang negara lama, arsip-arsip, pengakuan dan keterikatan negara baru tersebut pada perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh negara lama. Artinya, akan muncul sebuah pertanyaan tentang sampai dimanakah tanggung jawab, wewenang, dan atau keterikatan negara baru terhadap beberapa konsekuensi tersebut akibat adanya suksesi negara.

Beberapa konsekuensi tersebut akan dihadapi pula oleh Timor Leste sebagai negara baru yang memiliki kedaulatan penuh atas seluruh wilayahnya, dan Indonesia yang telah kehilangan kedaulatannya atas wilayah Timor Leste. Hal ini disebabkan bahwa pada prinsipnya yang menjadi persoalan utama di dalam suksesi negara adalah adanya peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara yang kehilangan identitasnya kepada entitas lain yang menggantikannya.

Pada tanggal 11 Desember 1989 telah terjadi kesepakatan antara Indonesia Australia mengenai zona kerjasama di daerah antara Provinsi Timor Timur dan Australia bagian Utara, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Lahirnya perjanjian ini diawali dari belum adanya kesepakatan yang jelas mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dan Australia, khususnya di daerah selatan Timor Timur (celah Timor), padahal di daerah tersebut terdapat kekayaan alam yang berupa minyak bumi dan gas.[1] Agar tidak mengganggu hubungan bilateral yang baik antara kedua negara tersebut dan untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di celah Timor, maka kemudian kedua negara sepakat untuk membuat perjanjian yang mengatur masalah pemanfaatan sumber daya alam di daerah tersebut.

Inti dari perjanjian tersebut antara lain mengatur mengenai pembagian hasil atas pemanfaatan gas dan minyak bumi di celah Timor tersebut. Di dalam perjanjian tersebut juga disepakati bahwa besar bagian masing-masing negara dari keuntungan yang diperoleh atas pengelolaan minyak bumi dan gas di daerah tersebut adalah 50 : 50, dengan kata lain, Indonesia dan Australia saling membagi keuntungan dari hasil yang diperoleh dengan prosentase sebesar 50% untuk Indonesia dan 50% untuk Australia.[2]

Karena saat ini Timor Leste telah merdeka, maka perjanjian 1989 tentang zona bersama tersebut dianggap akan merugikan Timor Leste, khususnya menyangkut pembagian royalty atas pemanfaatan sumber daya alam yang ada di celah Timor. Sehingga akhirnya Timor Leste memilih ingin merubah perjanjian tersebut, dengan alasan bahwa berdasarkan azas titik tengah sebagaimana yang dianut dalam Konvensi Wina 1982 tentang Hukum Laut, salah satu cadangan gas yang terbesar yaitu, Bayu Undan akan berada sepenuhnya di wilayah Timor Leste. Dan bila azas titik tengah ini diperpanjang ke arah Timur dan Barat melampaui zona bersama, maka Timor Leste akan memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi.[3]

Untuk mempertajam analisis terhadap permasalahan suksesi negara di Timor Leste, khususnya mengenai beberapa konsekuensi yuridis yang akan dihadapi oleh Timor Leste sebagai negara baru. Maka tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai suksesi negara Timor Leste dalam kaitannya dengan perjanjian internasional yang telah atau pernah dibuat oleh Indonesia, khususnya mengenai Timor Gap Treaty 1989.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai suksesi negara dalam kaitannya dengan perjajian internasional. Agar pembahasan lebih fokus, maka pembahasan dalam tulisan ini dirumuskan dalam bentuk legal issue sebagai berikut:

Bagaimanakah keterikatan Republik Timor Leste terhadap perjanjian Internasional (Timor Gap Treaty 1989) antara Indonesia dengan Australia pasca kemerdekaan?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Suksesi Negara

Suksesi negara Negara adalah peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara kepada negara lain, sebagai akibat pergantian negara. Menurut Pasal 2 angka 1b Konvensi Wina Tahun 1978, suksesi negara adalah "succestion of states means the replacement of one state by another in the responsibility for the international relations of territory."

Selanjutnya menurut Pasal 2 angka 1f, Pasal 15, Pasal 30 angka 1 dan Pasal 34 Konvensi Wina 1978, suksesi negara dapat terjadi karena berbagai sebab, yaitu:[4]

1. Apabila suatu wilayah negara atau suatu wilayah yang dalam hubungan internasional menjadi tanggung jawab negara tersebut kemudian berubah menjadi wilayah negara baru.

2. Apabila negara pengganti sebagai negara baru yang beberapa waktu sebelum saat terjadinya suksesi merupakan wilayah yang tidak bebas yang dalam hubungan interna­sional di bawah tanggung jawab negera (negara-negara) yang digantikan.

3. Negara yang terjadi sebagai akibat dari bergabungnya dua wilayah atau lebih menjadi suatu negara merdeka.

4. Terjadi sebagai akibat dipecah-pecahnya suatu negara menjadi beberapa negara baru.

Sedangkan suksesi negara menurut J.G Starke adalah:[5]

“… principally concerned with the transmission of right and obligations from state which have altered or lost their identity to other states or entities, such altera­tion or loss identity occurring primarily when complete or partial changes of souveregnty take place over portions of territory."

Terjemahan bebasnya dapat ditulis sebagai berikut: “…peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada negara atau entitas lain, di mana perubahan atau hilangnya identitas ini terjadi karena adanya perubahan kedaulatan atas sebuah wilayah baik yang bersifat menyeluruh atau sebagian.

Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hal yang terpenting di dalam pengertian suksesi negara adalah adanya peralihan hak dan kewajiban dari suatu negara yang telah berubah atau hilang identitasnya kepada negara atau entitas lain.

Menurut kepustakaan hukum Internasional, secara garis besar terdapat dua macam bentuk suksesi negara yaitu suksesi universal dan suksesi parsial. Suksesi universal terjadi apabila suksesi tersebut meliputi seluruh wilayah negara. Misalnya, suatu negara pecah menjadi beberapa bagian kemudian menjadi negara-negara baru. Sebaliknya suksesi parsial terjadi apabila suksesi tersebut hanya meliputi sebagian wilayah suatu negara. Misalnya, sebagian negara memisahkan diri dan menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri atau mengikuti negara lain.[6]

Perbedaan pokok antara suksesi universal dan suksesi parsial dapat diperinci sebagai berikut:[7]

1. Identitas internasional negara; bahwa di dalam suksesi universal identitas internasional negara menjadi hilang atau berubah karena hilangnya wilayah negara tersebut kemudian muncul identitas negara yang baru. Sedangkan dalam suksesi parsial identitas internasional sebuah negara tidak hilang, karena yang terjadi hanyalah perubahan luas wilayahnya saja;

2. Akibat hukum yang ditimbulkan; bahwa di dalam suksesi universal akibat hukum yang ditimbulkan adalah sejauh mana negara pengganti menerima hak dan kewajiban dari negara yang digantikan. Sedangkan di dalam suksesi parsial akibat hukumnya hanyalah sebatas pada distribusi hak dan kewajiban dari negara lama kepada negara baru;

Suksesi negara biasanya membawa beberapa implikasi yang sering terjadi dalam masyarakat internasional, yaitu:[8]

1. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara pengganti.

2. Keterikatan negara pengganti pada perjanjian interna­sional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga;

3. Nasionalitas;

4. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hak milik, termasuk dana negara dan arsip negara;

5. Tanggung jawab negara pengganti atas hutang negara pendahulu.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa salah satu bentuk implikasi dari terjadinya suksesi negara adalah mengenai sejauh mana keterikatan negara pengganti pada perjanjian pada perjanjian internasional maupun kontrak yang dibuat oleh negara pendahulu dan eksistensi berlakunya perjanjian antara negara pendahulu dengan negara ketiga.

Menurut Prof. Yudha Bhakti, terdapat dua pendapat yang dapat dikemukakan mengenai keterikatan negara pengganti terhadap kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian internasional dalam terjadinya suksesi negara.[9]

  1. Kewajiban-kewajiban kontraktual dengan negara ketiga atau dengan warga negara sendiri, seperti konsesi untuk tambang atau kereta api pada umumnya diterima negara pengganti.

2. Negara pengganti dapat mengahapuskan atau mengubah kewajibannya terhadap kontrak tersebut dengan memperhitungkan hak ganti rugi bagi pemilik konsesi.

Berbeda dengan itu, Boer Mauna mengemukakan pendapatnya dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang mencerminkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam hukum kebiasaan dan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam konvensi.[10]

a. menurut hukum kebiasaan internasional; bahwa di dalam praktek internasional telah diterima sebuah prinsip tidak dapat dipindahkannya perjanjian-perjanjian politik, seperti perjanjian-perjanjian aliansi militer, konvensi-konvensi mengenai status netralitas atau mengenai bantuan timbal balik dua negara. Dengan kata lain, perjanjian atau kontrak politik yang telah dibuat oleh negara lama dengan negara lain tidak beralih kepada negara baru karena terjadinya suksesi negara. Sebaliknya, sejumlah perjanjian internasional yang dianggap mempunyai nilai hukum kebiasaan, tetap berlaku terhadap negara baru. Sebagai contoh perjanjian-perjanjian territorial yang berkaitan dengan penetapan tapal batas atau jalur komunikasi.

Selain itu, perjanjian-perjanjian yang dibuat untuk kepentingan umum masarakat internasional, yang biasanya disebut law making treaty dapat dipindahkan dari negara sebelumnya kepada negara pengganti atau negara baru.

b. menurut konvensi Wina 1978 tentang suksesi negara; bahwa pada prinsipnya konvensi Wina 1978 mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip hukum kebiasaan (vide : Pasal 11 dan 12 Konvensi Wina 1978). Bahwa suksesi tidak merubah tapal batas dan status teritorial lainnya. Sebaliknya Konvensi Wina 1978 memberikan kebebasan kepada negara-negara yang baru merdeka untuk terikat atau tidak terikat terhadap kewajiban-kewajiban konvensional yang dibuat oleh negara sebelumnya, dengan lebih memberikan solusi kepada negara baru untuk tidak terikat pada konvensi-konvensi tersebut. Dengan demikian maka konvensi-konvensi multilateral secara prinsip tidak dapat dipindahkan kepada negara baru, kecuali negara baru tersebut menghendakinya.

B. Tinjauan tentang Timor Gap Treaty 1989

Pemicu terjadinya perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia mengenai zona kerja sama di daerah antara Timor Leste dan Australia Bagian Utara adalah belum adanya kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap batas landas kontinen di Selatan Timor Leste (celah Timor). Mengingat di daerah celah Timor terdapat potensi sumber daya alam yang berupa minyak bumi dan gas alam, maka kemudian pada tanggal 11 Desember 1989 kedua belah pihak sepakat untuk membuat perjanjian yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di celah Timor. Perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Timor Gap Treaty.

Timor Gap Treaty ini ditandatangani oleh Menlu Australia Gareth Evans (saat itu) dan Menlu RI Ali Alatas pada tanggal 11 Desember 1989, di atas pesawat Boeing 737 RAAF yang terbang selama 17 menit berputar di atas angksa Zona A Celah Timor. Ketika itu, Indonesia pada awalnya ingin menetapkan batas perairan di Celah Timor dengan sistem median line dan ZEE (berdasarkan Konvensi Jenewa 1982). Sedangkan Australia dengan sistem bathymetric axis line, penetapan batas berdasarkan sumbu terdalam dari laut, atau Palung Timor-Banda. [11]

Menlu Ali Alatas menguraikannya secara rinci di depan DPR RI, menjelang ratifikasi RUU Celah Timor, pada akhir November 1990. Menlu mengatakan berdasarkan Konvensi Laut 1982, rezim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) haruslah dibedakan dengan rezim batas landas kontinen.

Inti rezim ZEE, (Pasal 56 Konvensi Laut) adalah hak berdaulat negara pantai sejauh dari 200 mil dari garis pangkal laut, atas sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Baik di laut maupun di dasar laut, serta lapisan tanah dibawahnya. Sedangkan berdasarkan ayat 3 (Pasal 56), hak-hak berdaulat atas dasar laut dan tanah di bawahnya, harus sesuai dengan Bab IV tentang Landas Kontinen. Berarti ada perbedaan antara ZEE bagi sumber daya alam hayati dengan dasar laut ZEE yang diatur oleh rezim (hukum) Landas Kontinen. Beda tafsir dan posisi hukum ini timbul dalam perundingan mengenai CelahTimor antara kedua negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun pada mulanya bertitik tolak pada upaya penetapan batas perairan, namun perjanjian Timor Gap Treaty 1989 tersebut bukanlah merupakan perjanjian mengenai tapal batas antara Indonesia dengan Australia, akan tetapi lebih merupakan perjanjian yang bersifat teknis yang mengatur mengenai zona pengembangan bersama (join development zone) di daerah tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Australia yaitu celah Timor.[12] Perjanjian tersebut dibuat oleh kedua belah pihak tidak lain adalah agar tidak menggangu hubungan bilateral yang baik antara kedua belah pihak dan agar tidak tertundanya pemanfaatan potensi minyak bumi dan gas alam yang terdapat di celah Timor.[13]

Secara yuridis, perjanjian mengenai zona pengembangan bersama antara Indonesia dan Australia ini dilegitimasi oleh Konvensi Hukum Laut 1982, sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 83:

"Sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai, negara-negara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk mengada­kan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis batas landas kontinen yang final".

Perjanjian Timor Gap Treaty tersebut pada prinsipnya mengatur masalah pembagian keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan minyak bumi dan gas alam yang terdapat di celah Timor, dengan ketentuan 50 : 50. Atau dengan kata lain, keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di celah Timor akan menjadi hak Indonesia sebesar 50% dan jumlah yang sama pula untuk Australia.

Di samping mengatur masalah pembagian keuntungan, Timor Gap Treaty 1989 juga membagi daerah celah Timor menjadi tiga bagian, yaitu:[14]

1. Daerah A; Daerah A merupakan sebagian dari daerah tumpang tindih klaim (daerah tumpang tindih klaim yang sebenarnya adalah daerah yang dalam Perjanjian ini disebut Daerah A dan Daerah C). Daerah A akan dimanfaatkan bersama oleh kedua pihak dengan pembagian hasil masing-masing 50%. Untuk mengelola Daerah A akan dibentuk Dewan Menteri dan Otorita Bersama, dan diberlakukan Kontrak Bagi Hasil.

2. Daerah B; Daerah B merupakan daerah di sebelah Selatan garis tengah yang terletak di luar daerah-daerah tumpang tindih klaim, dan di Selatan dibatasi oleh batas 200 mil laut dari garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia. Daerah B ini akan dikelola oleh Australia seperti yang berlaku selama ini, tetapi Australia akan memberikan kepada Indonesia 16% dari penghasilan pajak bersih atau "Net Resource Rent Tax" (Net RRT) atau 10% dari penghasilan pajak kotor (Groos RRT). Selain itu Australia akan memberikan informasi kepada Indonesia tentang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Daerah B sebelum kegiatan tersebut dimulai;

3. Daerah C; Daerah ini sebenarnya merupakan bagian dari daerah tumpang tindih tuntutan yurisdiksi masing-masing pihak. Daerah C tersebut akan dikelola oleh Indonesia, dengan ketentuan bahwa Indonesia akan memberikan 10% dari Pajak Pendapatan Kontraktor. Selain itu Indonesia juga akan memberitahukan Australia tentang kegiatan tersebut.[15]

Delapan tahun setelah perjanjian yaitu pada awal tahun 1997, Australia mengumumkan segera akan memulai tahap produksi tambang minyak di kawasan itu. Izin pertama bagi dua lading minyak (di Zona A), di barat laut Australia, masing-masing Laminaria dan Corallina. Biaya persiapan produksi di dua lading minyak Zona A yang membentang seluas 550 kilometer persegi itu, sebesar 1 miliar dolar Australia (sekitar Rp 2,4 triliun). Sedangkan persiapan kedua, adalah bagi lading minyak Elang dan Kakatua (Zona C) zona kerja sama antara kedua negara, Indonesia dan Australia.

Produksi ladang Laminaria dan Corallina, yang disebut-sebut sebagai dua lading minyak terbesar dunia tersebut, akan dimulai akhir tahun 1999. Dua ladang di Zona A (dan mungkin B) tersebut mempunyai kandungan minyak sebesar 250 juta barel, dengan kapasitas produksi lebih dari setengah juta barel per hari.Sedangkan produksi di Ladang Elang dan Kakatua di Zona C, sekitar 33.000 barel per hari, karena depositnya diperkirakan hanya 15 juta barel. Awal eksploitasi di Zona C ini dimulai pada kuartal ketiga 1998, atau pada bulan September tahun depan. Biaya persiapan untuk mengelola tambang kedua ladang kerja sama Australia-Indonesia itu, sebesar 71,4 juta dolar AS.[16]

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Keterikatan Timor Leste terhadap Timor Gap Treaty 1989

Seperti telah diuraikan di dalam tinjauan pustaka, jelas bahwa salah satu konsekuensi logis yang muncul dari adanya suksesi negara adalah keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional yang telah dibuat oleh negara pendahulu, atau tentang eksistensi perjanjian internasional yang telah dibuat negara pendahulu apabila terjadi suksesi.

Dalam perjanjian internasional, khususnya terhadap pihak-pihak yang terikat di dalamnya tidak dapat terlepas dari prinsip yang telah diakui oleh masyarakat internasional yaitu, pacta tertiis nec nocent nec procent. Prinsip ini mengandung arti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga. Dengan demikian maka suatu negara tidak dapat menuntut hak dari ketentuan-ketentuan suatu perjanjian bila negara tersebut bukan pihak pada perjanjian tersebut.

Prinsip tersebut diadopsi oleh Konvensi Wina Tahun 1969 yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak menciptakan baik hak maupun kewajiban bagi negara ketiga tanpa persetujuannya (Vide: Pasal 34 konvensi Wina 1969).

Sebaliknya, pihak ketiga dapat terikat pada perjanjian internasional jika menyatakan diri secara tegas untuk terikat pada perjanjian internasional tersebut. Pernyataan mana yang harus dituangkan dalam bentuk tertulis (Vide: Pasal 35 Konvensi Wina 1969).[17] Hal lain yang dapat membuat pihak ketiga dapat terikat pada perjanjian internasional meskipun tanpa persetujuannya, adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB mengenai perdamaian dan keamanan internasional. Selain itu, klausula Most Favoured Nation (di dalam ekonomi internasional) juga akan memberikan hak kepada negara-negara ketiga.[18]

Sedangkan menurut Konvensi Wina Tahun 1978 menentukan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang digantikan berdasarkan perjanjian yang mengikat pada saat terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara pengganti terhadap peser­ta lain dari perjanjian itu, kecuali apabila antara negara yang diganti dengan negara pengganti telah diadakan perjanjian penyerahan yang menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu diserahkan kepada negara pengganti. (Vide : Pasal 8 ayat 1 Konvensi Wina Tahun 1978).[19]

Dan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian yang berlaku pada saat terjadinya suksesi negara, tidak menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari negara pengganti atau negara peserta lain yang menjadi pihak dalam perjanjian itu, kecuali apabila ada pernya­taan dari negara pengganti tersebut yang menegaskan mengenai kelanjutan berlakunya perjanjian itu di wilayahnya. Ketentuan tersebut sesuai dengan asas res inter alios acta, yaitu bahwa pihak yang bukan peserta dari perjanjian tidak terikat perjanjian yang dibuat oleh negara peserta perjanjian itu.[20]

Mengenai suksesi terhadap sebagian wilayah negara, Pasal 15 Konvensi Wina tahun 1978 menentukan bahwa apabila terjadi suksesi negara sedemikian rupa, perjanjian yang dibuat oleh negara yang diganti­kan berhenti mengikat terhadap wilayah dimana terjadi suksesi, pada saat terjadinya suksesi itu. Dan perjanjian itu berla­ku bagi negara yang menggantikan pada saat suksesi negara itu terjadi, kecuali apabila nampak dari perjanjian itu, atau apabila ditetapkan bahwa diberlakukannya perjanjian itu di wilayah terse­but akan bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu sendiri, atau akan mengubah sama sekali keadaan untuk dapat dijalankannya perjanjian itu.[21]

Kemudian selanjutnya, Pasal 16 Konvensi tersebut mengatakan, bahwa pada prinsipnya negara baru tidak terikat untuk tunduk atau untuk menja­di pihak pada suatu perjanjian, kecuali apabila perjanjian itu telah mengikat pada saat terjadinya suksesi negara. Pasal ini dapat pula ditafsirkan bahwa negara baru yang terbentuk dari hasil suksesi itu mempunyai kebebasan untuk memilih atau mengada­kan pemilahan perjanjian-perjanjian mana yang akan mengikatnya.[22]

Telah diuraikan di atas bahwa perjanjian antara Indonesia dengan Australia (Timor Gap Treaty 1989) adalah merupakan perjanjian mengenai zona kerja sama antara kedua belah negara, dan bukan merupakan perjanjian mengenai tapal batas atau status teritorial, sebab hingga saat ini belum ada kesepakatan yang jelas antara Indonesia dengan Australia mengenai status tapal batas atau status teritorial kedua negara tersebut. Oleh sebab itu maka perjanjian Timor Gap Treaty 1989 tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap Timor Leste. Dengan kata lain Timor Leste memiliki kebebasan untuk menyatakan terikat atau tidak terikat pada perjanjian tersebut. Artinya, bila Timor Leste menyatakan diri untuk terikat pada perjanjian tersebut, maka Timor Gap Treaty 1989 masih akan tetap berlaku. Sebaliknya, bila Timor Leste menyatakan diri untuk tidak terikat. Maka eksistensi perjanjian Timor Gap Treaty 1989 tersebut menjadi berakhir.

A. Penolakan Timor Leste terhadap Timor Gap Treaty

Ketika perundingan dimulai kembali pada bulan Maret tahun lalu, pendirian awal Australia adalah bahwa Timor Leste harus mengambil alih kesepakatan yang sudah dicapai dengan Indonesia, yaitu perjanjian bagi hasil 50-50. Tetapi Timor Leste menolaknya. Indonesia tidak berhak membuat perjanjian itu, dan waktu itu Indonesia mencapai perjanjian karena menduduki Timor Leste secara ilegal. Dengan begitu Indonesia juga tidak berwenang untuk membuat perjanjian untuk Timor Leste. Pendek kata, menurut Timor Leste Australia harus memulai lagi perundingan ini dari titik awal. Kini disepakati Timor Leste akan memiliki 90% minyak dan gas dan boleh memungut pajak di kawasan tersebut, sesuai dengan perundang-undangan Timor Leste.

Pada prinsipnya tidak terdapat aturan yang secara tegas mengatur masalah sampai sejauh mana negara suatu negara baru berhak atau wajib meneruskan hak-hak dan kewajiban negara yang digantikannya, termasuk juga hak atau kewajiban untuk tunduk pada perjanjian-perjanjian atau traktat yang telah dibuat oleh negara lama. Namun di dalam praktek masalah tersebut diselesaikan melalui perjanjian penyerahan kedaulatan (devolution agreements) antara negara pengganti dengan negara yang diganti.[23] Perjanjian penyerahan kedaulatan tersebut pada intinya memuat secara tegas hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa saja yang dilanjutkan atau dihentikan.

Meskipun demikian, dalam hukum internasional telah berlaku suatu prinsip umum bahwa adanya perubahan kedaulatan (baca: suksesi negara) tidak mempengaruhi perjanjian perbatasan dengan negara pihak ketiga, hak dan kewajiban perjanjian internasional yang berhubungan dengan perbatasan serta hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pengaturan wilayah yang beralih, serta perjanjian-perjanjian multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, dan hak-hak asasi manusia.[24]

Bahkan bagi negara-negara baru hasil proses dekolonisasi lebih senang menerapkan prinsip clean state teori dari pada prinsip kontinuitas, [25] ataupun prinsip-prinsip lainnya berkenaan dengan terjadinya peralihan hak dan kewajiban dari negara lama kepada negara baru. Prinsip clean state ini mengandung arti bahwa semua negara yang baru merdeka harus bebas dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara penjajahnya. Atau dengan kata lain suatu negara baru harus memulai dari lembaran bersih.

Untuk menjembatani semua prinsip-prinsip tentang peralihan hak dan kewajiban dari negara lama kepada negara baru, Konvensi Wina 1978 pada prinsipnya memang mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip hukum kebiasaan yang disebut di atas (vide : Pasal 11 dan 12), namun konvensi tersebut pada dasarnya tetap memberikan kebebasan penuh kepada negara baru untuk tunduk atau tidak tunduk pada perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh negara lama.[26]

Oleh sebab itu, maka perjanjian Timor Gap Treaty 1989 pada prinsipnya tidak dapat beralih kepada Timor Leste, kecuali jika Timor Leste sebagai negara baru menyatakan keterikatannya pada perjanjian tersebut. Selain itu Timor Leste juga berhak untuk melakukan perubahan atau melakukan kesepakatan ulang dengan Australia, khususnya mengenai zona pengembangan bersama yang berada di celah Timor. Hal tersebut adalah merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya suksesi negara di mana Timor Leste memiliki kedaulatan penuh terhadap seluruh wilayahnya.

Dengan alasan-alasan pada paragraph-paragraf di atas maka wajar jika Timor Leste ingin melakukan perubahan atau kesepakatan ulang terhadap Timor Gap Treaty 1989. Karena saat ini Timor Leste telah memiliki kepentingan tersendiri atas pemanfaatan sumber daya alam di celah Timor. Oleh karenanya Australia tidak berhak memaksa Timor Leste untuk tunduk pada Timor Gap Treaty 1989, dan jika Australia tetap berkeinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di celah Timor, maka konsekuensinya adalah harus bersedia menegosiasikan ulang perihal tersebut dengan Timor Leste.

BAB IV

KESIMPULAN

Secara yuridis menurut pasal 16 Konvensi Wina 1978, perjanjian Timor Gap Treaty 1989 antara Indonesia dengan Australia tidak dapat mengikat atau beralih kepada Timor Leste dalam hal Timor Leste telah menjadi negara yang merdeka. Timor Gap Treaty 1989 akan dapat tetap berlaku hanya jika secara tegas dan tertulis Timor Leste menyatakan keterikatannya terhadap perjanjian tersebut.

Ketika Timor Leste menyatakan tidak terikat pada perjanjian tersebut, maka konsekuensinya adalah bahwa eksistensi Timor Gap Treaty 1989 telah berakhir dan Timor Leste berhak untuk melakukan perubahan atau melakukan kesepakatan ulang dengan Australia khususnya terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada di celah Timor tanpa adanya campur tangan dari Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni. 2003

JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan dari “Introduction to International Law, edisi kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika. 2001

Malcolm D Evans, Blackstone’s International Law Documents, Fifth edition, United Kingdom: Blackstone Press. 2001

Yulianto Achmad., Eksistensi Perjanjian Antara Indonesia Dengan Australia Tentang Zona Kerjasama Di Daerah Antara Timor Leste Dan Australia Bagian Utara Dalam Hal Timor Leste Menjadi Negara Merdeka, Makalah.. http://web.umy.ac.id/hukum/download/YULI.htm

Tien Saefullah, Suksesi Negara Sehubungan dengan Perjanjian Internasional, makalah, Bandung : PPS UNPAD. 1981

Mike Head, Australia menggertak Timor Leste "merdeka" atas minyak dan gas, makalah., http://www.wsws.org/id/2002/mei2002/timo-m30.shtml

Syahmin AK. SH.,Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969,Armico Bandung. 1985

Timor Leste Mulai Memastikan diri., Makalah., http://www.rnw.nl/ ranesi/html/masa_depan.html

Yudha Bhakti, Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Majalah Padjajaran No.1 1981


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 20

Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.



[1] Yulianto Achmad., Eksistensi Perjanjian Antara Indonesia Dengan Australia Tentang Zona Kerjasama Di Daerah Antara Timor Leste Dan Australia Bagian Utara Dalam Hal Timor Leste Menjadi Negara Merdeka,

Makalah., http://web.umy.ac.id/hukum/download/YULI.htm

[2] Timor Leste Mulai Memastikan diri., Makalah., http://www.rnw.nl/ranesi/html/masa_depan.html

[3] Mike Head, Australia menggertak Timor Leste "merdeka" atas minyak dan gas, makalah., http://www.wsws.org/id/2002/mei2002/timo-m30.shtml

[4] Yulianto Achmad. Loc cit

[5] J.G.Starke., Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989.

[6] Yudha Bhakti. A., Pengertian Jus Cogen dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, Majalah Padjajaran No.1. 1981

[7] Ibid.,

[8] Yulianto Achmad.Log cit

[9] Yudha Bhakti., Op. cit.,

[10] Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global., PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm 46

[11] Suara Pembaruan.

[12] Yulianto Ahmad., Log.Cit.,

[13] Op cit.

[14] Ibid

[15] Yulianto Ahmad., Log cit

[16] Suara Pembaruan. Log cit

[17] Boer Mauna., Log.cit., hlm 144

[18] Ibid, hlm 144

[19] Yulianto Ahmad, Log.cit

[20] Tien Saefullah, Suksesi Negara Sehubungan dengan Perjanjian Internasional, makalah, PPS UNPAD, Bandung, 1981.

[21] Yulianto Ahmad, Log.Cit.,

[22] Ibid.,

[23] Boer Mauna, Logcit., hlm 41

[24] Ibid., hlm 41

[25] Ibid., hlm 41

[26] Ibid., hlm 48

1 comment:

Silahkan berpendapat

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547