Pada tahun 2004, menurut laporan tahunan Special 301 yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Perdangangan AS (USTR/United States Trade Representative), Indonesia saat ini merupakan satu-satunya negara anggota ASEAN yang masih masuk ke dalam priority watch list (daftar negara yang menjadi prioritas untuk diawasi) USTR untuk kasus-kasus pelanggaran HAKI. Masih menurut dokumen tersebut, Indonesia juga dikategorikan sebagai salah satu negara yang tinggi tingkat praktik pemalsuan produk-produk industri di bawah Cina dan Vietnam.
Di dalam negeri memang masih sulit untuk menginventarisasi secara detail jenis produk apa saja yang sudah dan banyak dipalsukan di pasaran. Tetapi berdasarkan observasi di lapangan, yang paling banyak dipalsukan berupa suku cadang mobil, pakaian, sepatu, baterai, minyak pelumas, rokok, komputer, perangkat elektronik , makanan minuman, mainan anak-anak, kosmetik, obat-obatan, perangkat informasi dan hiburan, dan beberapa produk piranti rumah tangga.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa tingkat pemalsuan di Indonesia sudah pada taraf kronis. Berdasarkan data dari International Apprel Association, sekitar 90 persen produk pakaian bermerek yang beredar di Indonesia adalah palsu. Survei yang dilakukan oleh IPMG juga menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen toko obat di Indonesia menjual obat-obatan palsu. Sebuah penelitian yang didanai oleh Business Software Alliance menunjukkan bahwa tingkat pembajakan piranti lunak (program komputer) mencapai angka 88 persen. Dan belum lama ini, Perhimpunan Masyarakat HaKI Indonesia mencatat sekitar 1.500 merek internasional yang telah didaftar dipalsukan oleh perusahaan-perusahaan lokal.
Meskipun banyak terjadi kasus pemalsuan di Indonesia, namun hanya sebagain kecil saja yang sampai ke pengadilan. Memang sering aparat melakukan razia dan penggrebekan seperti yang dilakukan di Pasar Glodok untuk menjerat para pemalsu VCD, namun alih-alih para pedagang barang bajakan tersebut tunggang langgang, sebaliknya mereka malah semakin menjamur.
Mengadapi maraknya pemalsuan yang jelas-jelas melanggar hak cipta ini pemerintah tampaknya kerepotan. Meskipun pemerintah telah berkali-kali merevisi UU Hak Cipta , tetapi pemalsuan tidak kunjung surut. Seperti kita ketahui, pemerintah telah merevisi UU Hak Cipta No.6/1982 dengan UU Hak Cipta No. 7/1987. Sepuluh tahun kemudian direvisi lagi dengan UU Hak Cipta No. 12/1997. Terakhir UU No. 19 Tahun 2002, tapi upaya secara yuridis ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Praktek pemalsuan produk-produk elektronik, suku cadang otomotif, dan pemalsuan produk lainnya masih merajalela. Tampaknya Indonesia masih menjadi surga bagi para pelaku pemalsuan dan pembajakan.
Dampak Negatif Pemalsuan
Pemalsuan dan pembajakan merek suatu produk bisa membawa dampak ekonomi yang sangat fatal baik bagi negara, konsumen, maupun perusahaan yang produknya dipalsukan. Menurut Noertjahjo Darmadji (Vice President PT ADM), maraknya pemalsuan yang terjadi di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia bisa mempengaruhi citra Indonesia di mata investor. Melihat kondisi yang kurang menguntungkan ini mereka bisa ragu dan bahkan enggan menanamkan modalnya di Indonesia, akibatnya negara tidak mampu menyediakan lowongan kerja yang cukup bagi warga negaranya. Dengan maraknya pemalsuan di Indonesia, negara secara tidak langsung juga telah kehilangan potensi pajak yang sangat besar. Ini merupakan bentuk penghancuran perekonomian Indonesia secara sistematis.
Bagi konsumen, pemalsuan dan pembajakan merek suatu produk jelas merupakan suatu tindakan yang merugikan. Barang palsu yang mereka konsumsi tentunya memiliki kualitas yang lebih rendah dari barang aslinya. Barang palsu juga tidak memberikan jaminan produk. Kualitas produk dipastikan rendah karena dalam pembuatan barang palsu tersebut pemalsu tidak menerapkan suatu standar kualitas tertentu sebagaimana yang diterapkan oleh produsen barang asli. Akibatnya kepuasan, kenyamanan, dan keamanan dari barang palsu tersebut dipertanyakan. Taruhlah misalnya suku cadang mobil atau obat-obatan sebagai contoh barang yang dipalsukan. Jika suku cadang dan obat-obatan tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka akibatnya ketika dipakai akan mengancam kenyamanan, keamanan, dan kesehatan konsumen.
Kerugian yang dialami perusahan yang memproduksi barang asli juga tidak kalah besar. Beredarnya barang-barang palsu berpotensi besar untuk mematikan pasar. Pasar akan rusak dengan beredarnya barang-barang palsu yang mutunya jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam jangka pendek memang dampaknya tidak begitu kelihatan, namun dalam jangka panjang jelas-jelas akan mempengaruhi image konsumen terhadap suatu jenis barang. Kalau image udah turun dan kepercayaan konsumen hilang maka akibatnya produksi akan terganggu pada tahap awal. Kemudian dampak berikutnya sudah jelas akan mempengaruhi kondisi perusahaan dan sangat mungkin mengarah kepada kebangkrutan. Kalau produsen bangkrut atau pindah ke negara lain karena hilangnya kepercayaan konsumen, tentunya banyak tenaga kerja akan terkena PHK. Akibatnya jumlah pengangguran menjadi meningkat dan beban negara semakin berat.
Akar Masalah Pemalsuan di Indonesia
Jika dicermati dengan baik sebenarnya maraknya pemalsuan di Indonesia dipicu oleh tiga faktor. Pertama, faktor ekonomi. Hendri Soelistyo Budi, SH (Staf Ahli Sekretariat Negara) di sela-sela Semiar " HaKI di Indonesia Mewujudkan Masyarakat Etik dan Profesional Memasuki Perdagangan Bebas" di Semarang menyatakan bahwa pelanggaran hak atas kekayaan intelektual melalui pembajakan, peniruan hak cipta tanpa izin, dan pemalsuan merek yang semakin marak di Indonesia ternyata motif utamanya justru karena masalah ekonomi. Arisakti Prihatwono (Staf Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Pengkajian Strategis) menambahkan bahwa maraknya pemalsuan seperti di Glodok beberapa waktu lalu merupakan bukti nyata karena masalah ekonomi dimana orang butuh makan dan tidak ada sarana pendukung untuk mendapat mata pencaharian.
Faktor yang kedua, lemahnya penegakan hukum khususnya di bidang HaKI juga merupakan salah satu pemicu maraknya praktik pemalsuan dan pembajakan di Indonesia. Bolehlah dikatakan bahwa kualitas peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah HaKI di Indonesia sudah cukup lumayan. Kita punya UU Paten, UU Merek, dan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sebagai revisi bagi peraturan-peraturan sebelumnya. Namun dari segi aparat penegaknya masih patut dipertanyakan. Segi ini melibatkan banyak pihak seperti polisi, jaksa, hakim, dan bahkan para pengacara. Para aktor penegak hukum tersebut saat ini belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan UU HaKI secara optimal. Bahkan mantan Kepala Polri Jenderal Polisi Da'i Bahtiar sendiri pernah mengakui di sebuah salah satu stasiun swasta bahwa jajarannya belum begitu memahami soal pengetahuan hak cipta. Akibatnya tindakan hukum bagi para pelaku tidak maksimal sebab aparat yang berwenag sendiri masih kebingungan tentang apa itu HaKI, sebuah ironi di negara yang mengaku menganut paham rehctstaat (negara hukum) ini.
Jika polisi sebagai pihak yang berwenang untuk mengusut dan memproses kasus-kasus pelanggaran HaKI saja tidak memahami tentang konsepsi HaKI tentunya proses penegakan hukum yang menjadi tugas utamanya akan terhambat. Akibatnya para pelaku pembajakan dan pemalsuan semakin merajalela dan menjamur tanpa takut ketahuan polisi lagi. Dan hal ini diperparah lagi oleh fakta yang menunjukkan bahwa derajat pemahaman masyarakat terhadap UU HaKI ternyata juga masih kurang. Hal ini cukup wajar sebab sebagai konsep hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu HaKI memiliki kendala klasik untuk dapat dipahami dan dimengerti terutama oleh masyarakat awam.
Fakta lainnya menunjukkan bahwa dari data LKHI menyebutkan, kasus-kasus pelanggaran hak cipta dan paten yang masuk kepengadilan hanya di bawah sepuluh persen. Celakanya para pelakunya hanya dihukum berkisar tiga tahunan penjara. Sanksi hukum yang terlalu ringan seperti ini tentunya tidak begitu memberikan rasa jera bagi para pelaku pemalsuan dan secara psikologis tidak cukup memberikan ancaman yang berarti bagi pelaku-pelaku yang lainnya yang belum tertangkap.
Faktor ketiga yang juga merupakan pemicu bagi maraknya pemalsuan dan pembajakan adalah budaya masyarakat. Kebijakan pembangunan yang relatif terbuka sejak pemerintahan Orde Baru telah menyediakan peluang baru bagi masuknya berbagai produk industri dari negara-negara maju ke tengah denyut jantung kehidupan masyarakat Indonesia. Walaupun sebagian besar produk itu baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat perkotaan, tetapi corak kehidupan baru telah berpengaruh pada gaya hidup masyarakat pedesaan. Kemajuan teknologi komunikasi yang menyertai penetrasi produk industri asing itu telah menjadi sarana penting bagi pengkayaan gagasan-gagasan masyarakat. Tanpa dirasakan masyarakat Indonesia telah menjadi obyek pasar bagi produk negara-negara asing. Telah terjadi semacam bentuk penjajahan baru dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang melalui pengembangan pasar (Said, 1993), dan akhirnya menghasilkan sebuah pola budaya baru yang disebut dengan consumer culture (Featherstone, 1991).
“Luar negeri minded” yang telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah menjadi pendorong yang kuat bagi terbentuknya pola budaya konsumen tersebut. Memang, begitu arus produk massa industri mulai dikonsumsi masyarakat, begitu pula masyarakat terperangkap pada budaya itu (Bodley, 1975). Dalam mengkonsumsi suatu produk orang lebih mementingkan image yang melekat pada produk itu daripada kegunaannya. Produk akan lebih dilihat dari hubungannya dengan citra, kemewahan dan kenikmatan baru, sehingga semakin langka dan terbatas suatu produk, semakin tinggi pula makna simbolik yang melekat pada benda itu.
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan gaya konsumtif dan lebih mementingkan merek suatu produk dari pada kegunaannya maka di sini munculah peluang besar bagi munculnya pemalsuan dan pembajakan. Pengusaha-pengusaha lokal semakin terdorong untuk memalsukan merek-merek terkenal dari luar negeri dengan harapan bahwa barang palsu yang diproduksi tersebut akan laku keras di pasaran. Dan gayung pun bersambut karena masyarakat yang sudah “luar negeri minded” ternyata lebih terdorong untuk membeli produk palsu yang harganya jelas lebih miring. Masyarakat tidak lagi mempedulikan apakah barang itu asli atau palsu, tetapi yang terpenting nama mereknya populer dan berasal dari luar negeri. Sebab kalau kita perhatikan, di masyarakat kita begitu subur tumbuh kegandrungan akan buatan produk dari luar. Misalnya celana jeans Calvin Klein yang sebenarnya berharga jutaan, di pedagang Blok M mereka bisa mendapatkannya dengan harga hanya Rp 70.000. Artinya, konsumen tahu dan sadar betul bahwa yang dibelinya itu palsu. Tapi toh tetap mereka mau membeli. Ini semata-mata karena merknya. Kenapa? Karena dengan memakai celana bermerk itu, harkat dan statusnya jadi terangkat. Arti yang lebih luas, sebenarnya kita sendiri kurang menghargai merk-merk kita sendiri.
Pemalsuan merek yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha lokal saat ini juga didorong oleh budaya masyarakat Indonesia yang kurang percaya diri alias minder dengan produk-produk dalam negeri. Karena masyarakat tidak percaya diri dengan produk dalam negeri maka pengusaha-pengusaha lokal takut produknya kalah bersaing dengan produk-produk asing. Untuk menghindari kerugian mereka beramai-ramai menggunakan merek-merek luar negeri tanpa mendapatkan izin ataupun lisensi dari perusahaan asing tersebut.
Melihat pemalsuan di Indonesia yang cukup mengkhawatirkan ini tentunya semua pihak dituntut untuk terlibat dalam upaya pemberantasannya. Pemerintah dituntut untuk segera memperbaiki kualitas baik perangkat hukum maupun aparat penegak hukum (law enforcer) demi menjamin kepastian hukum dan menjaga martabat bangsa di mata investor. Disamping itu, masyarakat hendaknya belajar untuk mencintai produk asli dalam negeri yang lebih murah dan membuang jauh-jauh gengsi atau bangga dengan barang-barang bermerek luar negeri.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat