Thursday, April 7, 2011

PERANAN DEWAN KEAMANAN PBB DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL (Studi Kasus di Bekas Wilayah Yugoslavia)

                          Oleh: Hanung Hisbullah Hamda

A. Pendahuluan

PBB merupakan organisasi internasional yang paling lama dapat bertahan dibandingkan dengan organisasi internasional lainnya, seperti Liga Bangsa-Bangsa yang hanya dapat bertahan selama 26 tahun. Selama 56 tahun, PBB mengalami perkembangan, baik dalam jumlah kegiatan, jumlah anggota, sampai dengan jumlah badan-badan di bawah naungannya.[1]
Dibalik perkembangan tersebut, PBB khususnya Dewan Keamanan (DK) dinilai banyak mengalami kegagalan. Berbagai konflik baik dalam skala regional maupun internasional banyak yang tidak dapat diselesaikan oleh DK. Masalah Terusan Suez, Palestina, Korea, Kongo, Kamboja, Chili, Haiti, Somalia banyak digunakan sebagai contoh kasus kegagalan DK mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional. Dari kegagalan-kegagalan tersebut, tidaklah heran apabila banyak pihak yang menghendaki restrukturisasi, revitalisasi, demokratisasi, sampai ke pembubaran PBB, yang sebenarnya berangkat dari kekecewaan terhadap DK.[2]
B. Peran Dewan Keamanan Mewujudkan Perdamaian dan Keamanan Internasional dalam Perang Bosnia-Herzegovina
Kasus Bosnia-Herzegovina berawal dari upaya pemisahan diri republik-republik yang semula tergabung dalam Sosialist Federal Republic of Yugoslavia. Pada tahun 1946 Josep Broz Tito memang dapat membentuk republic komunis tersebut yang terdiri dari republik-republik seperti Slovenia, Croatia, Bosnia Herzegovina, Macedonia, Vojvodina, Serbia, dan Montenegro. Di balik kewibawaannya Tito mampu menghilangkan semua perbedaan etnik dan agama terhadap semua republic tersebut di bawah bendera Yugoslavia.
Kondisi mengalami perubahan sepeninggal Tito, serta runtuhnya rejim komunis Uni Soviet, salah satu negara adi daya yang merupakan pilar komunis saat itu. Republik-republik yang tergabung dalam SFRY mulai berkehendak memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri, tidak terkecuali Bosnia Herzegovina yang memiliki perbedaan mencolok dengan republic-republik yang lain, dimana mayoritas penduduk Bosnia adalah muslim.[3]
Setelah Slovenia dan Croatia menyatakan memisahkan diri pada tanggal 25 Juni 1991, Macedonia pada tanggal 19 Desember 1991, akhirnya Bosnia Herzegovina juga menyatakan pemisahan dirinya dari Federasi Yugoslavia pada Februari 1991. Serbia bersama-sama Montenegro bersama-sama membentuk federasi baru dan menyatakan diri sebagai pengganti Yugoslavia sebagaimana diproklamirkan pada tahun 1946. Kelompok etnik Serbia yang berada di Bosnia dan Croatia membentuk kekuatan sendiri dan dengan dibantu oleh Yugoslavia berusaha merebut kantong-kantong wilayah yang berada di bawah pengawasan Bosnia.[4]
Dalam melakukan perebutan wilayah inilah, Serbia yang dipimpin oleh Rodovan Karadzic (Presiden pemerintahan Serbia di Bosnia) dan Radko Mladic (Komandan Pasukan pemerintahan Serbia di Bosnia) menghalalkan segala cara untuk merebut wilayah-wilayah Bosnia. Politik cleansing ethnic yaitu pembersihan etnik Bosnia yang beragama Islam dengan menggunakan cara-cara di luar batas-batas kemanusiaan dilakukan. Pembunuhan penduduk sipil secara sistematis, pemerkosaan, penyiksaan, perampasan harta benda penduduk merupakan fenomena sehari-hari di Bosnia.[5]
Terhadap kejahatan genodice, kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang yang terjadi di Bosnia, kritik dan kecaman dilemparkan pada PBB, khususnya DK karena dianggap tidak melakukan penegakkan hukum, bahkan seolah menyetujui pembersihan etnik muslim disana. Anggapan ini sebenarnya tidaklah benar seluruhnya. Sejak tanggal 25 September 1991 sampai dengan 15 Mei 1992 DK telah mengeluarkan 8 resolusi berkaitan dengan makin memburuknya situasi di Bosnia, penyerangan terhadap anggota UNPROFOR (United Nations Protection and Force) termasuk anggota Palang Merah Internasional (ICRC), pelanggaran gencatan senjata, pengusiaran warga negara yang bukan Serbia dan pelanggaran-pelanggaran hukum internasional lainnya. Tidak diindahkannya resolusi-resolusi tersebut, mendorong DK untuk mengenakan sanksi ekonomi kepada Yugoslavia pada tanggal 25 Mei 1992. Sanksi ekonomi tersebut antara lain sebagai berikut :[6]
a. Melarang impor bahan-bahan mentah dan produksi barang-barang lainnya dari Yugoslavia serta kegiatan apapun yang ditafsirkan dapat meningkatkan ekspornya serta penjualan dan pemasokan dengan menggunakan kapal laut/udara bagi bahan-bahan tersebut.
b. Menghentikan dana bantuan termasuk sumber-sumber ekonomi dan keuangan ke negara tersebut.
c. Tidak memberikan ijin penerbangan termasuk ijin lintas udara untuk pesawat udara dari Yugoslavia.
d. Mengurangi tingkatan staf diplomatic dan konsuler perwakilan Yugoslavia di luar negeri.
e. Melarang keikutsertaan atlet Yugoslavia diluar negeri.
Sanksi-sanksi ekonomi sebagaimana disebutkan, juga keberadaan pasukan penjaga perdamaian PBB (UNPROFOR), serta berbagai upaya diplomasi yang dilakukan PBB ternyata tidaklah efektif. Tekanan dari dunia Islam dan negara-negara ketiga makin mendorong DK untuk lebih serius menangani kasus Bosnia. Setelah mengumpulkan bukti-bukti yang cukup tentang berbagai bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Bosnia, akhirnya DK melalui resolusinya Nomor 827 tahun 1993 membentuk Tribunal atau pengadilan yang berkedudukan di Den Haag bagi penjahat-penjahat perang dalam kasus perang di bekas wilayah Yugoslavia.
Bilamana resolusi Majelis Umum yang banyak dikeluarkan pada era perang dingin akibat kegagalan DK mengambil keputusan terhadap pelanggaran perdamaian dan keamanan internasional hanya bersifat rekomendatif, maka tidaklah demikian dengan resolusi DK. Resolusi ini lebih memiliki kekuatan hukum yang mengikata, harus dipatuhi oleh semua pihak yang bertikai. Bila terdapat upaya-upaya yang bertentangan dengan penegakkan hukum kejahatan perang dan kemanusiaan iini, komisi bersenjata yang dibentuk DK PBB yaitu IFOR (International Forces) dapat menggunakan kekuatan bersenjata guna menyeret siapa saja yang patut diduga terlibat dalam kejahatan perang maupun kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
Dari apa yang dikemukakan dalam kasus Bosnia diatas, nampak bahwa DK telah dapat menjalankan fungsi dan mekanisme kerjanya sesuai dengan piagam PBB. Setelah berbagai forum diplomasi sampai sanksi ekonomi mengalami jalan buntu, maka berdasarkan Pasal 24 jo Pasal 39 Piagam PBB, DK dapat mengambil langkah-langkah guna memelihara perdamaian dan keamanan internasional di wilayah Balkan. Pemebentukan UNPROFOR merupakan langkah Peace Keeping yang dilakukan oleh DK PBB. Adapun pembentukan International Criminal Tribunal untuk mengadili penjahat perang di Bosnia, meskipun tidak diatur sama sekali oleh Piagam PBB, tetapi bila dihubungkan dengan tugas pokok DK yang diberikan mandat sedemikian besar untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, maka upaya pembentukan pangadilan tersebut menjadi sangat relevan.
Sebagaimana telah dikemuakan diatas sebelumnya berdasarkan Pasal 39 Piagam PBB, DK dapat menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil guna mencegah setiap upaya yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Di samping itu, berdasarkan Pasal 29 Piagam, DK dapat membentuk organ-organ subsider yang dianggap perlu guna pelaksanaan fungsi-fungsinya. Oleh karena itu pembentukan pengadilan penjahat perang di Den Haag dalam kasus Bosnia adalah juga dimaksudkan untuk lebih menegaskan pelaksanaan fungsi-fungsi Dewan Keamanan sebagai penjamin terciptanya perdamaian dan kemanan internasional. Apa yang terjadi di Bosnia merupakan praktek uncivilized yang merendahkan harkat dan martabat manusia yang sangat dijunjung tinggi oleh Piagam PBB.

C. Kesimpulan

Pasca perang dingin DK telah dapat menjalankan fungsinya memelihara perdamaian dan keamanan internasional dibandingkan di era perang dingin. Dengan berbagai kelemahannya, DK sebenarnya telah memberikan banyak sumbangan untuk memperkuat perdamaian dan meredakan konflik-konflik internasional dan mencegah timbulnya perang dunia baru selama lebih lima dasawarsa. DK telah memainkan peran penting dalam penyelesaian sejumlah sengeta internasional. DK telah juga berupaya melakukan penegakkan hukum terhadap negara atau pihak-pihak yang dianggap melanggar perdamaian dan keamanan internasional. Penegakkan hukum melalui pembentukan peradilan internasional untuk penjahat perang dalam kasus Bosnia adalah salah satunya. Disamping pembentukan peradilan serupa untuk kasus Rwanda. Terlepas dari itu semua restrukturisasi terhadap badan ini memang penting untuk dilakukan untuk lebih mengoptimalkan fungsinya sebagai pemelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Daftar Pustaka

Adji Samekto. “Mengkaji Peran Operasi Pemelihara Perdamaian PBB Sebagai Bagian Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia.” Dalam Majalah Hukum dan Pembangunan. Pebruari 1991.
Bentaro Bandoro. “Blok Suara dan Politik Kekuatan di PBB.” Dalam Majalah Analisa. 1983
DW. Bowet. The Law International Institutional. London: Steven 7 Sons Ltd. 1975
Ensikpledia Britanica. Micropaedia. Vol 12. 1995
ICRC-IPU. Respect for International Humanitarian Law, Handbook for Parliamentarians. No.1. 1999
Sihombing. “Tanggung Jawab Komando dalam Hukum Humaniter Internasional.”. Makalah pada Penataran Hukum Humaniter Internasional Tingkat Lanjut. Unsri. 24-25 Juni 2000
Sumaryo Suryokusumo. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Alumni. 1993
United Nations. Teachening About United Nations Peacekeeping. UN. New York: Department of Public Information. 1990


[1] Sefriani. Peran Dewan Keamanan dalam Mewujudkan Perdamaian dan Keamanan Internasional: Studi Kasus Perang di Bekas Wilayah Yugoslavia. Dalam Jurnal Hukum. No. 15. Vol. 7 2000
[2] Ensiklopedia Britanica. Micropaedia. Vol 12. 1995. hlm. 870-871
[3] Sefriani. Op Cit. Hlm 66
[4] Ibid
[5] Sefriani. Log Cit. Hlm 67
[6] Sumaryo Suryokusumo. Op.Cit. Hlm. 23-24

No comments:

Post a Comment

Silahkan berpendapat

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547