Oleh: Hanung Hisbullah Hamda
Barokah, secara lughawy (etimologis) bermakna ziyadah (bertambah) atau an-numu (tumbuh). Artinya bahwa segala sesuatu yang diberkahi Allah akan bertambah dan menumbuhkan sesuatu yang positif. Barokah juga sering dimaknai sebagai 'ziyadatul khair 'ala al ghair' (sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama).
Ar-Raghib Al-Asfahanny mendefinisikan berkah sebagai tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mendefinisikan berkah sebagai kebaikan yang banyak dan terus menerus yang tidak berhak memiliki sifat tersebut kecuali Allah SWT. Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengartikan barokah sebagai kebaikan yang banyak dan langgeng.
Jika keberkahan dikaitkan dengan harta, maka yang dimaksud dengan harta yang berbarokah adalah harta yang menyebabkan seseorang yang mempergunakannya memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa sehingga mampu mendorong berbuat kebaikan pada sesama. Harta demikian inilah yang pada hakikatnya sangat didambakan dan dicari setiap orang, sebab ketenangan dan ketenteraman jiwa itulah yang menjadi faktor penentu bagi kebahagiaan hidup seseorang selama berada di dunia yang fana ini.
Untuk menggambarkan bagaimana pentingnya barokah berperan di dalam harta kekayaan seseorang, dua kisah yang menceritakan dua sahabat saya di bawah ini menarik untuk disimak.
Saya memiliki seorang sahabat yang berprofesi sebagai guru swasta dengan penghasilan sekitar Rp 1.500.000. Penghasilan sebesar ini memang sudah di atas UMR, tetapi gaji di atas terbilang sangat minim untuk hidup di sebuah kota kecil di mana harga bahan-bahan pokok biasanya lebih mahal, terlebih lagi sahabat saya memiliki 4 orang anak yang kesemuanya sudah duduk di bangku sekolah. Tetapi alhamdulillah sahabat saya itu selalu bersukur dengan apa yang dimilikinya, tidak lupa mengeluarkan zakat 2,5% tiap bulannya, dan sungguh luar biasa sahabat saya ini tidak pernah mengeluh kekurangan, dia juga memiliki sebuah motor meski tidak baru, dan bisa memulai membangun sebuah rumah pribadi dengan keluarga yang adem ayem dan sehat-sehat saja.
Saya juga memiliki sahabat lain yang pendapatanya dalam sebulan paling tidak sekitar Rp 2.500.000 mengingat dia seorang PNS yang juga memiliki usaha toko. Tetapi anehnya, meskipun dia hanya memiliki tanggungan 2 anak saja ternyata tidak pernah bisa menabung, dan malah memiliki banyak hutang. Setelah saya amati keseharianya, ternyata pemasukan sebesar itu dia peroleh dari gaji dan penghasilan lainnya yang tidak bersih. Ternyata di kantornya, teman saya yang satu ini terkenal sering ngeluyur pada jam kerja. Kadang dia mencari tambahan gaji dengan cara yang tidak halal, misalnya dia mencari lembur, padahal sebenarnya tidak ada kerjaan. Sedangkan di rumah, istrinya biasa mengurangi takaran ketika berjualan di toko.
Sahabat saya yang PNS ini pernah bercerita bahwa ketika dia mendapat pendapatan yang lebih banyak justru semakin banyak saja pengeluaran yang harus dikeluarkan, misalnya untuk servis kendaraannya yang rusak karena kecelakaan, barang-barang perabotan di rumahnya rusak, ada anak atau keluarganya yang masuk rumah sakit, atau untuk membeli barang-barang yang menurut saya tidak terlalu perlu.
Seandainya di ibaratkan sebuah laporan untung-rugi, rizki yang berbarokah adalah pendapata bersih yang diterima setelah dikeluarkan biaya-biaya tidak terduga dan pajak atau dengan kata lain bahwa rizki yang berkah adalah rizki bersih (netto) sedangkan rizki yang tidak berkah itu adalah pendapatan kotor (brutto) sebelum dikeluarkannya pajak dan biaya-biaya tak terduga lainnya. Artinya, rizki yang tidak berbarokah adalah rizki yang masih mengandung kotoran.
Rizki yang berbarokah itu oleh Allah SWT diberikan dengan tanpa pemotongan biaya, semua biaya-biaya tak terduga dan pajaknya ditanggung Allah. Maksudnya, seperti contoh sahabat saya yang guru swasta tadi Alhamdulillah keluarganya sehat-sehat saja dan tidak ada yang sampai harus dirawat di rumah sakit berhari-hari. Kondisi sebaliknya, sahabat saya yang PNS, anaknya dan istrinya sering bergantian harus masuk rumah sakit dan mondok dalam waktu yang lama. Anaknya yang pertama juga sering mengalami kecelakaan motor sehingga banyak menghabiskan biaya karena motornya sering keluar masuk bengkel.
Dari satu kasus kerusakan motor saja, teman saya yang PNS memerlukan dana sebut saja Rp.300.000, maka pengahasilan sahabat saya yang mendapat Rp.2.500.000 akan berkurang menjadi Rp.2.200.000, karena adanya biaya perbaikan motor. Kemudian karena keluarganya banyak sakit-sakitan maka biaya kesehatan yang ia harus keluarkan dalam sebulan sebut saja Rp. 1.000.000, maka rizkinya akan berkurang hingga menjadi Rp. 1.200.000 saja. Selanjutnya jika ada perabotan rumah tangganya yang rusak seperti lampu neon, setrika, dan sebagainya –tarohlah- harus menghabiskan Rp 200.000, maka rizki bersihnya tinggal menjadi Rp. 1.000.000. Uang Rp 1.000.000 ini lah hakikatnya yang ia belanjakan sehari-hari untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Dari dua kasus di atas dapat dilihat bahwa rizki yang berbarokah itu adalah rizki bersih yang memang menjadi hak kita, sedang rizki tidak berbarokah meskipun banyak tapi adalah rizki yang kotor yang akan dikurangi oleh biaya-biaya yang tidak terduga. Dalam kasus teman saya yang guru swasta bisa disimpulkan bahwa penghasilannya yang Rp 1.500.000 memang menjadi haknya. Artinya, harta yang ia peroleh berbarokah karena biaya-biaya tak terduga seakan ditanggung oleh Allah. Sedangkan bagi teman saya yang PNS karena harta Rp 2.500.000 itu adalah rizki kotor maka dia sendiri yang harus menanggung biaya-biaya tak terduga sehingga tinggal Rp. 1.000.000 saja yang memang menjadi haknya.
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizqinya akibat dari dosa yang ia kerjakan.” [HR. Ahmad, Ibnu Majah].
“Sesungguhnya Allah Yang Maha luas karunia-Nya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan diberkahi” [HR. Ahmad]
Oleh karena itu saudaraku, mulailah kita berusaha untuk mencari rezeki yang berbarokah. Jangan sampai kita melakukan kecurangan-kecurangan hanya demi mengejar kuantitas harta belaka. Adapun kiat-kiat untu mendapatkan rizki harta yang berbarokah adalah sebagai berikut:
a. Mulailah bekerja mencari rizki dengan niat Bismillah, karena keberkahan itu datangnya hanyalah dari Allah SWT semata. Dan dengan Bismillah maka segala pekerjaan yang kita lakukan terhitung sebagai amal kebaikan yang berpahala.
b. Carilah rizki dengan cara yang benar, jadikan kejujuran sebagai kunci menggapai barokah. Sebab tidak ada barokah tanpa kejujuran dalam setiap perkara.
c. Bersungguh-sungguhlah dalam menjalankan profesimu karena di situlah ladangnya rizki (barang siapa bersunggung-sungguh tentu akan mendapatkan apa yang diidamkan)
d. Perbanyaklah mengingat Allah di dalam melakukan pekerjaamu karena sesungguhnya dzikir itu mendekatkan hamba pada Sang Pencipta. Barangsiapa mengingat Allah diwaktu lapang maka Allah akan mengingatnya diwaktu ia berada dalam kesempitan. Dan barangsiapa mengingat Allah dalam segala waktu maka Allah akan menjadi penolong baginya.
e. Selalu bersyukur dengan apa yang diberikan oleh Allah, walaupun itu hanya terlihat sedikit, sebab yang sedikit itu hakikatnya adalah rizki bersih yang kita terima.
f. Jangan sampai lupa dalam mengeluarkan zakat karena ia adalah penyuci harta. Tidak membayar zakat akan mengakibatkan Allah akan mengambil biaya-biaya tidak terduga dari harta kita.
g. Belanjakan rizki yang diperoleh dengan cara yang benar dan dijalan yang benar.
Saudaraku, sesunggungnya harta yang berbarokah memiliki tanda-tanda yang layak kita ketahui. Adapun tanda yang umum adalah jumlahnya justru bertambah manakala dimanfaatkan atau dipakai. Harta yang demikian ini bukanlah sembarang rejeki, dan tidak diberikan kepada sembarang orang. Rejeki seperti ini hanya diberikan bagi mereka yang rela tunduk dan patuh pada segala ketetapan Allah.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat