1. Pendahuluan
Meskipun Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949, khususnya Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan terhadap Tawanan Perang dan Konvensi Anti-Penyiksaan, ternyata dalam prakteknya Amerika Serikat tidak mengindahkan isi dan substansi dari kedua konvensi tersebut. Hal ini terbukti dengan ditemukannya foto-foto penyiksaan tawanan perang sebagaimana dimuat dalam surat kabar harian The Daily Mirror pada tanggal 29 April 2004.
Situs Suaramuslim.net menampilkan berita kebiadaban perilaku para tentara Amerika Serikat yang masih terus bergulir. Setelah terbongkar perilaku menjijikan mereka terhadap para tawanan pria Irak di penjara Abu Gharib, terungkap pula percabulan mereka terhadap puluhan atau bahkan ratusan tawanan wanita di negeri itu. Kejadian menjijikkan itu sebagaimana diungkapkan seorang professor wanita Irak yang dilansir harian The Guardian, Edisi Rabu 12 Mei 2004.[1]
Dalam wawancara eksklusif The Guardian, Profesor Huda Shakir, seorang pengamat politik pada Universitas Baghdad, menyatakan bahwa ia telah melihat dengan mata kepala sendiri ada seorang gadis muda Irak telah diperkosa oleh seorang polisi militer Amerika sampai hamil. Dosen wanita dan juga peneliti Amnesti Internasional itu mengungkapkan bahwa seorang rekan wanitanya juga ditangkap tentara Amerika dan dijebloskan ke dalam penjara Abu Ghuarib dan diperlakukan secara tidak manusiawi.[2]
Dalam sebuah majalah pekanan Amerika Serikat, Newsweek edisi 10-17 Mei 2004, diungkapkan bahwa masih banyak foto percabulan menjijikan yang dipertontonkan komplotan tentara bejad Amerika Serikat yang belum dirilis, termasuk juga gambar seorang serdadu Amerika Serikat yang bersenggama dengan seorang tahanan wanita Irak. Ada juga foto para serdadu Amerika yang menonton para tawanan pria Irak yang sedang dipaksa bermain seks dengan gadis-gadis di bawah umur.[3]
Situs Hidayatullah.com mengungkapkan ribuan foto kebiadapan tentara Amerika Serikat terhadap tahanan Iraq ditemukan kembali. The Washington Post, edisi Kamis, 6 Mei 2004 mengungkap kembali gambar foto yang lebih jelas berkaitan dengan perlakuan biadab terhadap tawanan Iraq di penjara Abu Gharib. Foto-foto itu sama dengan foto yang disiarkan TV CBS dalam program "60 Menit II" dan yang dipublikasikan oleh beberapa media Inggris. Koleksi baru itu mencakup lebih dari 1.000 gambar digital mulai dari tempat kehidupan militer biasa hingga gambar yang menunjukkan simulasi kasar seks di antara tentara.[4]
Menurut The Washington Post, foto-foto pelecehan tahanan itu ada di antara sekitar 1.000 foto digital pasukan Amerika Serikat yang mengabadikan pengalaman mereka di Irak. Foto-foto yang diambil dengan menggunakan kamera digital itu disimpan di dalam compact disc (CD) dan disebarkan di kalangan polisi militer yang bertugas di penjara Abu Gharib. Di antaranya terdapat foto seorang prajurit tengah memegang rantai yang diikatkan ke tubuh seorang tahanan yang telanjang dan tengah menggeliat-geliat di lantai. Sikap keji para tentara Amerika Serikat ini memang sangat diluar batas kemanusiaan. Dari gambar-gambar yang dipublikasikan, para tawanan tidak hanya dianiaya. Mereka, ditelanjangi, disiksa, kepala mereka ditutup dengan kain, mereka juga dikencingi sambil berdiri. Seorang tawanan mengaku, mereka disodomi dan seret dengan menggunakan tali.[5]
Seperti dikutip The Washington Post, ada juga foto-foto yang menunjukkan tiga sampai empat tahanan telanjang diikat menjadi satu di lantai di luar sel mereka sambil ditonton serdadu-serdadu Amerika Serikat. Di foto lainnya, terlihat seorang tahanan yang telanjang, tetapi kepalanya ditutup dan diikat ke terali penjara, sementara seorang tahanan lainnya, yang juga telanjang, kepalanya ditutupi dengan pakaian dalam wanita dengan muka menghadap ke ranjang besi yang dibuat sedemikian rupa sehingga punggung tahanan itu melengkung. Ada juga gambar-gambar para serdadu tengah berpura-pura berhubungan seks, dan seekor sapi tengah dikuliti dan dikeluarkan isi perutnya dan para serdadu melihat ke arah kepalanya yang telah lepas. Meski perlakuan tentara Amerika Serikat yang sangat luar biasa kejam, mereka masih sempat bergembira di atas kekejian itu. Beberapa hari lalu, sebuah agen berita ternama mengeluarkan gambar di mana puluhan tawanan Irak ditenjangi dan kepala mereka ditutup dengan kain. Tawanan itu diminta membuat formasi mirip piramid dengan cara menumpuk badan mereka yang sedang telanjang, sedangkan disamping mereka tampak beberapa tentara sedang tertawa-tawa. [6]
Sebuah komisi internal militer pimpinan Mayor Jenderal George Fay menyebutkan kombinasi antara kegagalan kepemimpinan dan kurangnya kedisiplinan, serta kekacauan yang ada di penjara menyebabkan semua itu terjadi. Sebagaimana diberitakan The Washington Post, ada kekacauan yang luar biasa mengenai taktik, teknik, dan prosedur intelijen militer di Irak pada umumnya dan di penjara Abu Gharib pada khususnya. Laporan Fay juga menyebutkan pimpinan tertinggi militer Amerika Serikat di Irak dinilai teledor dan tidak tanggap atas laporan Komite Palang Merah Internasional atau tanda-tanda yang mengarah pada terjadinya aksi pelecehan dan kekerasan. [7]
Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka secara obyektif dapat dijelaskan bahwa para tawanan perang di Abu Gharib telah mendapatka perlakuan yang tidak manusiawi dengan klasifikasi sebagai berikut:
1. Pembunuhan
2. Penyiksaan fisik, seperti pemukulan, pengudungan, pemotongan anggota tubuh, dan sejenisnya.
3. Penyiksaan psikologis, seperti itimidasi, teror, caci maki, umpatan yang berlebihan, dan sebagainya.
4. Pemerkosaan dan pelecehan seksual
5. Pengabaian terhadap jaminan kesehatan
6. Penghinaan terhadap harkat, martabat, dan adat istiadat yang dimiliki
2. Pelanggaran Terhadap Prinsip-prinsip dan Ketentuan Tentang Tawanan Perang
Secara yuridis, tawanan perang yang ada di Abu Gharib telah dilindungi oleh Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Conventioan relative to the Treatment of Prisoners of War), yang mengatur mengenai perlakuan wajib terhadap tawanan perang. Pasal 2 Konvensi Jenewa III 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars) ini memuat ketentuan bahwa konvensi berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan maupun keadaan perang yang tidak diakui oleh salah satu pihak. Dengan demikian, Amerika Serikat tidak dapat menghindar dari ketentuan konvensi ini dalam kasus invasi ke Irak. Perlakuan terhadap tawanan perang kemudian juga diatur dalam Protokol Tambahan I tahun 1977 (Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts ).
Perlindungan terhadap tawanan perang ini juga diatur secara tidak langsung dalam Konvensi Anti-Penyiksaan (Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment). Pasal 2 Konvensi Anti-Penyiksaan menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi harus dapat mencegah kekerasan dalam wilayah jurisdiksinya, tanpa memandang apakah terjadi dalam masa damai ataupun perang (No exceptional circumstances whatsoever, whether a state of war or a threat of war, internal political instability or any other public emergency, may be invoked as a justification of torture). Kemudian, pasal 11 menyebutkan bahwa setiap negara peserta konvensi ini haruslah menegakkan aturan yang sistematis dalam hal interogasi, penangkapan, dan penahanan, serta harus menghindarkan kekerasan. Namun fakta di penjara Abu Gharib menunjukkan bahwa baik pasal 2 maupun pasal 11 Konvensi Anti-Penyiksaan di atas telah dilanggar oleh tentara Amerika Serikat. Ini terbukti dengan ditemukannya foto-foto penyiksaan tawanan sebagaimana dilansir dalam The Daily Mirror. Bukti-bukti ini diperkuat lagi dengan adanya pengakuan dari beberapa tawanan yang dibebaskan yang mengaku bahwa mereka mengalami dan menyaksikan adanya praktek-praktek introgasi yang tidak manusiawi di Abu Gharib.
Pada kasus Abu Gharib ini jelas bahwa tentara Amerika serikat telah melanggar ketentuan Pasal 13 Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars) yang mengatur sebagai berikut:[8]
Prisoners of war must at all times be humanely treated. Any unlawful act or omission by the Detaining Power causing death or seriously endangering the health of a prisoner of war in its custody is prohibited, and will be regarded as a serious breach of the present Convention. In particular, no prisoner of war may be subjected to physical mutilation or to medical or scientific experiments of any kind which are not justified by the medical, dental or hospital treatment of the prisoner concerned and carried out in his interest.
Likewise, prisoners of war must at all times be protected, particularly against acts of violence or intimidation and against insults and public curiosity.
Measures of reprisal against prisoners of war are prohibited.
Pasal 13 ini menyebutkan bahwa tawanan perang (prisoner of war) harus dilperlakukan secara manusiawi dalam semua keadaan (must at all times be humanely treated) tanpa ada pengecualian. Setiap perlakuan yang bertentangan dengan hukum atau kelalaian dari pihak penahan yang mengakibatkan kematian yang benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang adalah dilarang keras dan dikategorikan sebagai pelanggaran yang amat serius terhadap Konvensi Jenewa (serious breach to Geneva Convention). Tawanan perang juga tidak boleh dijadikan obyek pengudungan jasmani, percobaan-percobaan kedokteran atau percobaan-percobaan ilmiah dalam bentuk apapun.
Tindakan tentara Amerika Serikat di penjara Abu Gharib tersebut juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Protokol Tambahan I tahun 1977 yang menyebutkan:[9]
The physical or mental health and integrity of persons who are in the power of the adverse Party or who are interned, detained or otherwise deprived of liberty as a result of a situation referred to in Article I shall not be endangered by any unjustified act or omission. Accordingly, it is prohibited to subject the persons described in this Article to any medical procedure which is not indicated by the state of health of the person concerned and which is not consistent with generally accepted medical standards which would be applied under similar medical circumstances to persons who are nationals of the Party conducting the procedure and who are in no way deprived of liberty.
Maksudnya, bahwa kesehatan dan keutuhan jasmani atau rokhani dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan Pihak-pihak lawan atau yang diinternir, ditahan tidak boleh dibahayakan. Karena itu adalah dilarang menempatkan orang-orang dibawah suatu prosedur perawatan kesehatan yang tidak didasarkan pada kesehatan orang yang bersangkutan dan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran perawatan kesehatan yang diakui secara umum. Terutama dilarang melaksanakan terhadap orang-orang tersebut diatas, sekalipun dengan persetujuan mereka: (a) pengudungan anggota tubuh, (b) percobaan-percobaan kesehatan ataupun ilmiah, dan (c) memindahkan jaringan syarat tubuh atau organ-organ tubuh untuk pencangkokan, kecuali apabila tindakan-tindakan itu dapat dibenarkan sesuai dengan keadaan sebagaimana diatur dalam ayat 1.
Pasal 11 ayat (1) Protokol Tambahan I tahun 1977 secara nyata telah dilanggar oleh perlakuan tentara Amerika Serikat dengan adanya praktek penyiksaan, pengudungan, dan pemukulan terhadap tawanan di Abu Gharib. Tindakan pemukulan, pengudungan, penyiksaan dengan aliran listrik, dan jenis penyiksaan lainnya yang terjadi di penjara Abu Gharib jelas akan mengakibatkan kesehatan fisik dan kejiwaan para tawanan terganggu. Penyiksaan-penyiksaan keji yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Abu Gharib tentunya selain bisa mengakibatkan pada kematian juga menimbulkan trauma psikologis yang berkepanjangan bagi para tawanan. Tindakan-tindakan tentara Amerika Serikat tersebut juga bertentangan dengan Pasal 11 ayat (4) Protokol Tambahan I tahun 1977 yang menyebutkan bahwa setiap tindakan sengaja yang membahayakan kesehatan jasmani atau rohani merupakan bentuk pelanggaran terhadap protokol I.
Fakta di Abu Gharib menunjukkan adanya pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara Amerika Serikat terhadap wanita-wanita yang ditahan. Dalam wawancara eksklusif The Guardian, Profesor Huda Shakir, seorang pengamat politik pada Universitas Baghdad, menyatakan bahwa ia telah melihat seorang gadis muda Irak telah diperkosa oleh seorang polisi militer Amerika sampai hamil. Dosen wanita dan juga peneliti Amnesti Internasional itu juga mengungkapkan bahwa seorang rekan wanitanya telah ditangkap tentara Amerika dan dijebloskan ke dalam penjara Abu Ghuarib dan diperlakukan secara tidak manusiawi dan mengalami berbagai pelecehan seksual. Bahkan dalam majalah pekanan Amerika serikat, Newsweek edisi 10-17 Mei 2004, diungkapkan bahwa masih banyak foto-foto pencabulan menjijikkan yang belum dirilis, termasuk gambar seorang serdadu Amerika Serikat sedang menonton tawanan pria Irak yang dipaksa bersenggama dengan gadis Irak yang tertawan. [10]
Tindakan keji tentara Amerika Serikat yang melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap wanita tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 14 Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars) yang mengatur sebagai berikut:[11]
Prisoners of war are entitled in all circumstances to respect for their persons and their honour.
Women shall be treated with all the regard due to their sex and shall in all cases benefit by treatment as favourable as that granted to men.
Prisoners of war shall retain the full civil capacity which they enjoyed at the time of their capture. The Detaining Power may not restrict the exercise, either within or without its own territory, of the rights such capacity confers except in so far as the captivity requires.
Inti dari Pasal 14 ini menjelaskan bahwa tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya. Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka, dan dalam segala hal harus mendapat perlakuan yang sama baiknya dengan yang diberikan kepada pria.
Di Abu Gharib, tentara Amerika Serikat juga tidak mengindahkan mutu kesehatan para tawanan yang sakit atau luka-luka. Memang ada perawatan medis yang diberikan kepada para tawanan yang sakit, tetapi mengingat personel medis yang terbatas dan jumlah tawanan yang sangat banyak maka pelayanan kesehatan di penjara Abu Gharib tidak berjalan dengan baik. Banyak tawanan yang meninggal setelah mengalami penyiksaan tanpa mendapatkan perawatan dan makanan yang cukup. Tidak jarang juga tawanan sengaja dibiarkan mati secara perlahan-lahan setelah mengalami siksaan-demi siksaan. Fakta seperti ini tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 25, 26, 29, dan 30 Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars) yang mengatur sebagai berikut:[12]
Prisoners of war shall be quartered under conditions as favourable as those for the forces of the Detaining Power who are billeted in the same area. The said conditions shall make allowance for the habits and customs of the prisoners and shall in no case be prejudicial to their health.
The foregoing provisions shall apply in particular to the dormitories of prisoners of war as regards both total surface and minimum cubic space, and the general installations, bedding and blankets.
The premises provided for the use of prisoners of war individually or collectively, shall be entirely protected from dampness and adequately heated and lighted, in particular between dusk and lights out. All precautions must be taken against the danger of fire.
In any camps in which women prisoners of war, as well as men, are accommodated, separate dormitories shall be provided for them.
Pasal 25 ini menyebutkan tentang tempat tinggal tawanan yang harus memperhitungkan adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tawanan dan sekali-kali tidak boleh merugikan kesehatan mereka. Oleh pihak Amerika Serikat ketentuan ini tidak diindahkan sama sekali. Bahkan banyak tawanan pria dan wanita dipaksa telanjang dan ditempatkan dalm satu ruang sel tahanan.. Ada juga tahanan yang dipaksa memakan daging babi dan bangkai anjing padahal menurut adat setempat dan juga menurut Islam keduanya diharamkan. Tentu saja hal ini menyakitkan bagi seluruh bangsa Irak yang mayoritas beragama Islam. Selain memaksakan hal-hal yang bertentangan dengan adat-istiadat setempat, tentara Amerika Serikat juga biasa menumpuk puluhan tawanan dalam satu ruangan sel di Abu Gharib dan mungkin juga di kamp-kamp tahanan lainnya di Irak. Tentu saja hal ini sedikit banyak dapat mempengaruhi dan merugikan kesehatan mereka yang ditahan.
Amerika Serikat juga bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 26 Konvensi, yaitu:[13]
The basic daily food rations shall be sufficient in quantity, quality and variety to keep prisoners of war in good health and to prevent loss of weight or the development of nutritional deficiencies. Account shall also be taken of the habitual diet of the prisoners.
The Detaining Power shall supply prisoners of war who work with such additional rations as are necessary for the labour on which they are employed.
Sufficient drinking water shall be supplied to prisoners of war. The use of tobacco shall be permitted.
Prisoners of war shall, as far as possible, be associated with the preparation of their meals; they may be employed for that purpose in the kitchens. Furthermore, they shall be given the means of preparing, themselves, the additional food in their possession.
Adequate premises shall be provided for messing.
Collective disciplinary measures affecting food are prohibited.
Pasal 26 ini menyebutkan bahwa ransum makanan harian pokok harus cukup berkualitas, kuantitas dan macam-macamnya untuk memelihara kesehatan yang baik dari tawanan perang dan untuk mencegah berkurangnya berat badan atau timbulnya penyakit kekurangan makanan.
Fakta di Abu Gharib menunjukkan tidak adanya upaya yang sistematis dan terencana untuk menjamin kesehatan para tawanan. Tentu saja hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 29 dan 30 Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars):[14]
The Detaining Power shall be bound to take all sanitary measures necessary to ensure the cleanliness and healthfulness of camps and to prevent epidemics.
Prisoners of war shall have for their use, day and night, conveniences which conform to the rules of hygiene and are maintained in a constant state of cleanliness. In any camps in which women prisoners of war are accommodated, separate conveniences shall be provided for them.
Also, apart from the baths and showers with which the camps shall be furnished prisoners of war shall be provided with sufficient water and soap for their personal toilet and for washing their personal laundry; the necessary installations, facilities and time shall be granted them for that purpose.
Every camp shall have an adequate infirmary where prisoners of war may have the attention they require, as well as appropriate diet. Isolation wards shall, if necessary, be set aside for cases of contagious or mental disease.
Prisoners of war suffering from serious disease, or whose condition necessitates special treatment, a surgical operation or hospital care, must be admitted to any military or civilian medical unit where such treatment can be given, even if their repatriation is contemplated in the near future. Special facilities shall be afforded for the care to be given to the disabled, in particular to the blind, and for their. rehabilitation, pending repatriation.
Prisoners of war shall have the attention, preferably, of medical personnel of the Power on which they depend and, if possible, of their nationality.
Prisoners of war may not be prevented from presenting themselves to the medical authorities for examination. The detaining authorities shall, upon request, issue to every prisoner who has undergone treatment, an official certificate indicating the nature of his illness or injury, and the duration and kind of treatment received. A duplicate of this certificate shall be forwarded to the Central Prisoners of War Agency.
The costs of treatment, including those of any apparatus necessary for the maintenance of prisoners of war in good health, particularly dentures and other artificial appliances, and spectacles, shall be borne by the Detaining Power.
Pasal 29 di atas menyebutkan bahwa negara penahan wajib mengambil segala sesuatu tindakan kesehatan yang diperlukan untuk menjamin kebersihan serta kesehatan tempat tawanan dan untuk mencegah wabah-wabah menular. Kemudian Pasal 30 mewajibkan pihak penawan untuk memberikan pengamatan medis sebaik-baiknya kepada para tawanan agar kesehatan jasmani dan rohani mereka tetap terjaga. Kedua ketentuan ini tidak dihiraukan sama sekali oleh pihak-pihak yang bertaanggung jawab di Abu Gharib. Jangankan pihak penawan melakukan pengamatan medis dengan baik, tawanan di Abu Gharib yang sehat saja disiksa dengan keji dan tidak manusiawi sampai sakit dan kalau perlu sampai mati.
Ketentuan Hukum Humaniter yang di langgar oleh tentara Amerika Serikat semakin banyak ketika diketahui bahwa sebagaian dari tahanan Abu Gharib adalah penduduk sipil yang jelas-jelas bukan commbatant. Seharusnya penduduk sipil non-commbatant yang tidak termasuk dalam kategori pasal 4A Konvensi Jenewa III maupun Pasal 43 Protokol Tambahan I tidak dikategorikan sebagai tawanan dan tidak berstatus sebagai Prisoner of War. Dengan demikian maka konsekuensi logisnya mereka harus dilepaskan dari penjara Abu Gharib.
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War), perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh diskriminatif. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak kekeluaargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27-34, yaitu: (a). melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan, (b). melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani, (c). menjatuhkan hukuman kolektif, (d). melakukan tindakan intimidasi, terorisme, dan perampokan, (e). melakuan tindakan pembalasan (reprisal), (f). menjadikan mereka sebagai sandra, (g). melakukan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi.[15]
Ketentuan dalam Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War) sebagaimana diterangkan di atas jelas tidak dipatuhi oleh tentara Amerika Serikat di penjara Abu Gharib mengingat banyak diantara mereka yang ditahan di Abu Gharib adalah penduduk sipil yang tidak masuk dalam kategori Pasal 4 A Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars) maupun Pasal 43 Protokol Tambahan I tahun 1977. Selain itu, tindakan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan, penganiayaan fisik, dan intimidasi merupakan hal yang biasa dilakukan tentara Amerika Serikat di Abu Gharib tanpa mempedulikan apakah korbanya adalah commbatant atau penduduk sipil (civilian).
Dalam kasus Abu Gharib, tentara Amerika Serikat juga melakukan pelanggaran yang nyata terhadap kebebasan jurnalis. Seperti diberitakan oleh Reuters, para wartawan pun ternyata tak lepas dari perilaku amoral tentara Amerika Serikat. Kantor Berita Inggris, Reuters, mengajukan protes karena 3 wartawan mereka yang warga Irak, mengaku mengalami penyiksaan fisik dan pencabulan selama mendekam dalam penjara Abu Gharib.[16]Fakta di Abu Gharib ini menunjukkan bahwa tentara Amerika Serikat telah melanggar ketentuan hukum humaniter yang diatur dalam annex dari Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Penghormatan Hukum-hukum Perang serta Kebiasaan Perang di Darat (Respecting the Laws and Customs of War on Land) Pasal 13 yang menyatakan:
Individuals who follow an army without directly belonging to it such as newspaper correspondents and reporters, sulters and contractors, who fall into enemy’s hands and whom the latter thinks fit to detain, are entiteld to be treated as prisoners of war, provided they are in possesion of certificate from the military authorities of the army which they are accompanying.
Berangkat dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang jurnalis (news paper correspondent and reporters) yang jatuh ke tangan salah satu pihak berkonflik dan ditahan maka dia diperlakukan (treated) sebagai tawanan perang meskipun dia bukanlah (is) tawanan perang.
Lahirnya Konvensi Jenewa 1949 yang terdiri dari empat konvensi pasca Perang Dunia Kedua tidak menghilangkan pembahasan soal status dan kedudukan jurnalis. Dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa III tahun 1949 (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoner of Wars) telah ditentukan golongan-golongan yang dianggap sebagai tawanan perang, dimana jurnalis termasuk dalam golongan keempat. Pasal 4 bagian A (4) dimana dinyatakan:[17]
Persons who accompany the armed forces without actually being members thereof, such as civilian members of military aircraft crews, war correspondents, supply contractors, members of labour units or of services responsible for the welfare of the armed forces, provided that they have received authorization, from the armed forces which they accompany, who shall provide them for that purpose with an identity card similar to the annexed model.
Dalam pasal ini tidak terdapat banyak perbedaan dengan pasal 13 Konvensi IV Den Haag 1907, yaitu masih dipersyaratkan adanya kartu identitas yang dikeluarkan oleh otoritas angkatan perang. Perbedaannya, hanya pada istilah yang semula news corespondents and reporters menjadi war correspondents. Perubahan istilah ini terkait dengan kemajuan teknologi dari media pers.[18]
Protokol Tambahan I tahun 1977 (Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts ) secara jelas mengatur perlindungan terhadap jurnalis serta status dan kedudukannya. Pasal 79 tentang Measures of Protection of Journalist terdiri dari tiga ayat. Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 79 (1) bahwa,” Journalist engaged in a dangerous professional mission in areas of armed conflict should be considered as a civilian...”. Sehingga jelas sudah bahwa status jurnalis adalah sipil sekalipun ia seorang embedded journalist.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan pada paragraf-paragraf di awal, dapat dibuktikan secara jelas bahwa tentara Amerika Serikat telah melakukan pelanggaran yang serius terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang tawanan perang. Fakta-fakta di Abu Gharib tersebut juga memperkuat penilaian yang menganggap Amerika Serikat telah bertindak diluar batas-batas perikemanusiaan dan jauh dari prinsip-prinsip dasar hukum yang diakui oleh negara-negara beradab serta bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Adapun jika ditinjau dari perspektif Hukum Islam, tindakan tentara Amerika Serikat yang menyiksa tawanan, mengintimidasi, melakukan pelecehan seksual, dan sebagainya merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan tentang pengaturan tawanan perang dalam Islam. Ketentuan tentang tawanan perang tersebut dalam Al Qur’an diatur dalam Surat At Taubah (9): ayat 5, Surat Al Anfal (8): ayat 67, Surat Al Anfal (8): ayat 70, Surat Al Anfal (8): ayat 71, Surat Al Baqarah (2): ayat 190, dan Surat Muhammad (47): 4. Disamping itu, ketentuan-ketentuan tentang pengaturan tawanan perang juga terdapat di dalam kumpulan hadits nabi dan kitab-kitab fikih klasik hasil ijtihad para ulama terdahulu.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Al Qur’an, Sunnah, dan ijtihad para ulama, dapat diringkas bahwa pengaturan tawanan perang menurut Al Qur'an adalah sebagai berikut: (a). larangan menawan dengan tujuan mencari kekayaan dunia semata, misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa orang yang mengaku sebagai tentara pembebasan Irak yang menangkapi Warga Negara Amerika dan sekutunya dengan tujuan mendapatkan uang tebusan, bukan karena motif jihad, (b). jaminan kehormatan dan perlakuan yang manusiawi (tidak melampaui batas). Termasuk di dalamnya jaminan kesehatan jika tawanan tersebut terluka atau sakit, dan (c). Perintah berda'wah kepada tawanan perang, sebab inti dari jihad suci adalah menegakkan agama Allah. Dari ketiga poin tersebut, perbuatan tentara Amerika Serikat di penjara Abu Gharib banyak yang bertentangan dengan poin kedua, yaitu jaminan kehormatan dan perlakuan yang manusiawi (tidak melampaui batas).
Sebagaimana tafsir dari Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) : ayat 190, para pihak yang berperang dilarang melakukan tindakan-tindakan yang melampaui batas. Dalam konteks tawanan perang maka para pihak dilarang memperlakukan para tawanan dengan tidak manusiawi. Penyiksaan maupun pelanggaran terhadap kehormatan sangat tidak sejalan dengan jiwa ayat ini. Yang dimaksud dengan "melampaui batas" dalam ayat ini menurut Imam Ibnu Katsir adalah melakukan hal-hal yang dilarang, seperti memotong-motong mayat, menjarah, membunuh wanita dan anak-anak yang tertawan, menganiaya dan membunuh orang-orang tua yang tertangkap, serta melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi terhadap mereka.[19]Dengan demikian tindakan-tindakan keji tentara Amerika serikat di Penjara Abu Gharib jelas tidak sejalan dengan Surat Al Baqarah (2): ayat 190 ini.
Satu lagi tindakan tentara Amerika Serikat di Abu Gharib yang tidak sejalan dengan ketentuan tawanan perang dalam Hukum Islam adalah penahanan para tawanan Irak untuk jangka waktu yang tidak jelas dan eksekusi tanpa adanya pengadilan terlebih dahulu. Meskipun perang Irak melawan Amerika Serikat dan sekutunya telah berakhir, tetapi mereka yang ditawan tetap disekap di dalam kamp-kamp tahanan tanpa tahu kapan akan dibebaskan. Kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan praktek perlakuan tawanan pada masa nabi Muhammad dan juga jauh dari ketentuan Al Qur’an Surat Muhammad ayat 04:[20]
فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَضَرْبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَآ أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّواْ ٱلْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَآءُ اللَّهُ لاَنْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّه َلَن يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
Artinya: “ Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.”
Ayat tersebut secara implisit menerangkan bahwa tawanan hanya boleh ditawan pada saat perang berlangsung. Jika perang telah usai maka pihak yang menawan harus membebaskan dari status tawanan dengan atau tanpa tebusan. Tawanan tersebut tidak boleh selamanya dibiarkan mendekam di dalam sel tahanan. Jadi tafsiran dari ayat ini juga tidak sejalan dengan tindakan tantara Amerika Serikat yang tetap membatasi kebebasan asasi para tawanan dengan tetap menempatkan mereka di dalam sel-sel tahanan di Abu Gharib.
Penganiayaan, pemukulan, pelecahan seksual, dan bentuk-bentuk penyiksaan lainnya yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Abu Gharib terhadap para tawanan juga bertentangan dengan tujuan Hukum Islam yang terangkum dalam Maqasid as syari’ah al khomsah, yaitu (a). Hifz al din: perlindungan terhadap hak dan kewajiban beragama masyarakat, (b). Hifz al nafs: perlindungan terhadap kelangsungan hidup manusia, (c). Hifz al aql: perlindungan terhadap potensi kecerdasan jiwa masyarakat, (d). Hifz al nasl: perlindungan terhadap keutuhan ikatan perkawinan guna persambungan yang abadi antar generasi. (e). Hifz al mal: perlindungan terhadap hak-hak kepemilikan.[21]
Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, dapat dibuktikan secara jelas bahwa selain pelanggaran terhadap Hukum Humaniter Internasional, tentara Amerika Serikat juga telah melakukan pelanggaran yang serius terhadap kebiasaan-kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, termasuk juga pelanggaran terhadap ketentuan tentang perlakuan terhadap tawanan perang dalam Hukum Islam. Tentunya analisis singkat ini dapat sekali lagi dapat memperkuat penilaian yang menganggap Amerika Serikat telah bertindak diluar batas-batas perikemanusiaan dan jauh dari prinsip-prinsip dasar hukum yang diakui oleh negara-negara beradab serta bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
[1] http://swaramuslim.net/more.php?id=1869 0 1 26 M. Diakses tanggal 29 Februari 2005, Pukul 15.37 WIB
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ditemukan Lagi Pesta Kekejaman Pasukan AS. Hidayatullah.com, edisi Jumat, 07 Mei 2004
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] Washington Post, Edisi Jumat 20 Agustus 2004
[8] Lihat Pasal 13 Geneva Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War; August 12, 1949
[9] Lihat Pasal 11 ayat (1) Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts
[10] http://swaramuslim.net/more.php?id=1869 0 1 26 M. diakses 1 Februari 2005, Pukul 20.00WIB
[11] Lihat Pasal 14 Geneva Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War; August 12, 1949
[12] Lihat Pasal 25 Geneva Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War; August 12, 1949
[13] Lihat Pasal 26 Geneva Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War; August 12, 1949
[14] Lihat Pasal 29 dan 30 Geneva Convention (III) Relative to the Treatment of Prisoners of War; August 12, 1949
[15] Arlina Permana Sari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hlm. 171
[16] http://eramuslim.com/br/dn/45/10418,1,v.html. Diakses tanggal 29 Desember 2004, Pukul 21.30 WIB
[17] Bhatara Ibnu Reza, Status Jurnalis dalam Konflik Bersenjata, terdapat dalam http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=9432&cl=Kolom. Diakses 23 Februari, Pukul 10.32 WIB
[18] Ibid
[19] Sayyid Quthub, Fi Zhilaalil Qur’an; Tafsir di Bawah Naungan Al Qur’an, Juz Kedua, Bina Ilmu, Jakarta, 1984, hlm. 160. Lihat Juga Tafsir Ibnu Katsir Juz I, hlm 110
[20] Lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, QS. Muhammad (47): 4
[21] Wahbah al Zuhaily. 1969. Op. Cit., hlm. 498. Lihat juga H. Muhammad Hasyim. 2004. Konsep Hukum Humaniter Internasional dalam Perspektif Hukum Islam. Makalah disampaikan pada Basic Course International Humanitarian Law and Human Right tanggal 1-5 Maret 2004. di Hotel Barito Banjarmasin, kerja sama Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin dengan ICRC.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat