Thursday, April 7, 2011

Filsafat dan Peradaban Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Dewasa ini banyak pemikir-pemikir Islam yang menentang keberadaan filsafat sebagai salah satu metode atau jalan mencari kebenaran hakiki. Mereka yang menolek filsafat beranggapan bahwa akal yang dimiliki manusia ini sangat terbatas sehingga tidak mampu mengetahui dan menagkap kebenaran-kebenaran yang sifatnya ghaib. Pro kontra antara golongan kaum ahli tasawuf dan para pengikut filosof pun tidak bisa terelakkan lagi di dalam tubuh umat Islam yang terdiri dari ratusan juta jiwa ini. Salah satu contoh pertentangan yang menarik untuk dikaji adalah “dialog” antara Ibnu Sina dengan Iman Ghazalai yang menunjukkan bahwa eksistensi filsafat dipandang berbeda-beda oleh sesama muslim sendiri.
Jika kita menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan sejarah peradaban umat manusia, maka sikap konservatif seperti yang diambil oleh Imam Ghazali pernah pula diambil oleh pemuka-pemuka agama lainnya di dunia. Dari sejarah diketahui bahwa sikap penolakan terhadap filsafat yang diluar batas telah menimbulkan korban pada berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan agama yang berkembang saat itu. Dalam Sejarah Kristen tercatat banyak ilmuwan menjadi korban, oleh karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak gereja, sedang dalam Sejarah Islam pengajaran filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan di perguruan tinggi seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo, Mesir.
Secara historis telah terbukti bahwa adanya sikap konservatif terhadap pandangan-pandangan baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam masa-masa kegelapan. Sejarah Islam telah mencatat bahwa masa keemas-an Islam The Golden Age of Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat terbuka terhadap perkembangan berbagai pemikiran baru, termasuk mengadopsi filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani. Bersamaan dengan dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami kemunduran, hingga terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara Barat.
Timbulnya kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu penjajahan, tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganjurkan agar umat Islam kembali mempelajari filsafat dan membuka diri kepada munculnya ide-ide baru.
Berangkat dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut ini akan dipa-parkan bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya dahulu terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk meluruskan pandangan bahwa Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang dunia filsafat dan ilmu pengetaghuan. Agar tulisan ini bisa lebih fokus dalam pembahasannya maka permasalahannya dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan dunia filsafat dan ilmu pengetahuan?
2. Bagaimanakah solusi yang dapat diambil untuk menanggulangi pertentangan antara kaum filosof dengan kaum tasawuf?










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsepsi Tentang Filsafat.
Istilah filsafat mulai dikenal pada zaman Yunani kuno, berasal dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran. Jadi orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang cinta kebenaran. Untuk mencapai kebenaran seseorang harus mempunyai pengetahuan. Sese-orang yang mengetahui sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu tersebut menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum tentu benar menurut orang lain.
Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Oleh karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral (moral philosophy). Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat.
Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai dengan tabiat alam apa adanya. Pada tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.
Auguste Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu : tahap religius, metafisik dan positif. Pada tahap pertama postulat ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi) dari ajaran agama. Pada tahap kedua postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai eksistenis obyek yang ditelaah. Pada tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.

B. Sejarah dan Perkembangan Filsafat
1. Sejarah Filsafat Timur
Ada anggapan, bahwa apabila kita melihat pada perkembangan filsafat Timur, sebagian besar dari makna filsafat yang dimaksud di sini adalah filsafat sebagai pandangan hidup. Hal ini terutama tampak pada saat kita membahas tentang filsafat India dan Cina.
Pandangan tersebut tidak salah, sekalipun tidak lalu berarti filsafat Timur itu tidak dapat dipelajari secara ilmiah. Pembahasan filsafat, terutama filsafatsebagai pandangan hidup, sangat erat kaitannya dengan latar belakang budaya masyarakat yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan latar belakang budaya di sini, salah satunya adalah agama. Filafat Timur ini banyak dipengaruhi oleh filsafat India dan filsafat Cina.
a. Filsafat India
India termasuk salah satu tonggak peradaban tertua di dunia dengan situsnya di sekitar lembah sungai Indus. Gerak pemikiran filsafat India sudah dimulai pada jaman Weda dengan menjadikan alam semesta sebagai objek utama pembahasannya . Manusia dipandang sebagai bagian kecil dari alam yang mahaluas ini. Sifat-sifat manusia identik dengan sifat-sifat alam itu. Filsafat India banyak mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan dari ikatan duniawi itu dan filsafat India ini sebagian besar bersifat mistis dan intuitif. Perananrasio baru agak menonjol pada kurun terakhir perjalanan ini setelah berkenalan dengan filsafat Barat.Adapun ciri dari filsafat India yaitu motif spritual yang mendasarinya, sikap introspektif dan pendekatan introsfektif terhadap realitas, hubungan erat antara hidup dengan filsafat, lebih bersifat idealis, intuisi yang mampu menyingkapi kebenaran yang tertinggi, penerimaan terhadap otoritas, dan tendensi untuk mendekati aspek pengalaman dan realitas dengan pendekatan sintesis. Sejarah India dapat dibedakan dalam lima periode besar, yaitu :
A. Jaman Weda (2000-600 SM)
Jaman Weda ini dimulai tatkala suku Aryan masuk kedaerah lembah sungai Indus. Weda ini memuat berbagai pujian, mantra atau doa yang digunakan dalam upacara-upacara pengorbanan untuk menghormati para dewa. Kelompok masyarakat yang diberi kepercayaan sebagai penghubung dengan para dewa yaitu kasta Brahmana, inti ajaran yang berkaitan dengan filosofis yaitu Upanisad. Persoalan utama pada Upanisad adalah hubungan antara manusia dengan alam.
B. Jaman skeptisime (600 SM-300M)
Pada masa ini terjadi suatu reaksi terhadap keberadaan Weda ini sehingga terdapat dua aliran pada masa ini yaitu : - Astika (Menerima Weda), aliran ini banyak dipengaruhi oleh Waisesika yaitu aliran yang banyak mengupas tentang kebahagiaan dengan cara pembebasan jiwa dari sifat yang mengekangnya, serta hubungan antara alam dengan manusia, - Nastika (Menolak Weda), aliran yang terpenting yaitu Buddihisme. Aliran ini banyak mendapat pengikut karena ajaran Buddhisme ini terbuka bagi semua suku dan kelas masyarakat.
C. Jaman Puranis (300-1200)
Pada jaman ini aliran Buddhisme yang mulanya mendapat tempat dihati masyarakat India berangsur-ansur mulai lenyap dari India, tetapi tetap menjadi agama yang dominan di negara-negara tetangga, seperti Nepal, Birma, Thailand.
D. Jaman Muslim (1200-1757)
Jaman ini ditandai dengan berkembangnya agama Islam di India, yang datang dengan fanatisme dan kebencian terhadap patung-patung, dan juga menentang sistem kasta. Pada jaman ini menurut sebagian ahli orang-orang muslim tidak memunculkan ide-ide filosofis yang cukup penting. Namun pendapat tersebut dibantah oleh ilmuwan dan para filosuf muslim sendiri.
E. Jaman Modern (setelah 1757)
Pada masa ini dianggap sebagai renesanse nilai-nilai India, sebagai reaksi terhadap pengaruh dari luar. Jaman ini ditandai dengan masuknya agama Kristen, sekaligus datangnya Inggris. Kedatangan Inggris ini mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangna ilmu dan humanisme. Terhadap pengaruh barat ini muncul reaksi yang bermacam-macam ada yang menolak dan ada yang menerima.
b. Filsafat Cina
Seperti halnya di India, filsafat bagi bangsa Cina lebih merupakan pandangan hidup daripada sebagai ilmu. Dan apabila diamati baik India maupun Cina tidak pernah terjadi semcam revolusi ilmu seperti di Barat pada Abad ke 16 dan 17.
Dilihat dari sejarahnya, filsafat Cina dibagi dalam empat periode yaitu:
a. Jaman Klasik (600-200 SM)
Pada masa ini dikenal sebagai jaman seratus sekolah (mazhab) filsafat diantaranya yang terpenting yaitu Konfusianisme, Taoisme, Yin-Yang, Moisme, Dialektik (Ming Chia), dan Legalisme (Fa Chia).
b. Jaman Neotaoisme dan Buddhisme (200 SM-1000 M), jaman neotaoisme ini berkembang pada abad ke 3 dan 4, dan jaman ini merupakan penafsiran terhadap kosep tao, serta aliran ini dikenal sebagai ajaran gelap atau mistik. Jaman ini muncul karena pengaruh masuknya agama Buddha ke Cina pada Abad ke-1 SM.
c. Jaman Neokonfusionisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 Masehi, Konfusionisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting, hal ini disebabkan karena ada anggapan ajaran Buddhisme tersebut bertentangan dengan corak berpikir Cina.
d. Jaman Modern (setelah 1900)
Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang masuk dan menetap di Cina, dan pada tahun (1840-1842) beberapa pelabuhan di daerah Cina diduduki Prancis dan Inggris sebagai akibat kekalahan Cina dalam Perang Candu.
2. Sejarah Filsafat Barat
Walaupun filsafat Barat ini muncul belakangan dibandingkan dengan filsafat Timur tetapi didalam kenyataannya mengalami perjalan yang lebih intens. Filsafat tidak dianggap sebagai pandangan hidup tetapi dianggap sebagai ilmu dengan metode-metodenya. FilsafatBarat ini dapat dibedakan dalam beberapa priode sejarah, yakni :
a. Jaman Kuno
a. Filsafat Prasoskrates, pada masa ini dianggap sebagai awal kebangkitan filsafat, tidak hanya di dunia Barat tetapi juga secara umum. Persoalan filsafat yang diajukan pada masa itu adalah tentang keberadaan alam semesta ini termasuk apa yang menjadi asal muasl alam ini. Tokohnya antara lain Thales.
b. Filsafat keemasan Yunani. Tokohnya antara lain Sokrates, Sokrates menyatakan bahwa nilai-nilai yang berkembang di dalam suatu masyarakat memang tidak dapat tahan terhadap kritik. Tetapi di dalam hatinya, ia merasa bahwa nilai-nilai yang tetap itu pasti ada, yang menuju tercapainya suatu norma, yaitu norma yang yang bersifat mutlak dan abadi, serta absolut. Persoalan yang dipertanyakan pada masa ini yaitu bagaiman manusia dapat hidup dengan baik dalam masyarakat agar tercapai keadilan dan kemakmuran.
c. Jaman Hellenisme. Pada jaman ini Yunani mengalami jaman keemasan ,tokoh yang berjasa yaitu Iskandar Aguing (salah seorang murid Aristoteles). Pada masa ini terdapat tiga aliran filsafat yang menonjol, yaitu: 1.Stoisisme; 2. Epikurisme; 3. Neoplatonisme.
d. Jaman Patristik, Pada jaman ini patristik dibagi dua yaitu Patristik Yunani dan Patristik Latin. Terhadap Patristik Yunani ini terjadi pertentangan antara yang menolak dan menerima, yang menolak menggangap filsafat Yunai bertentangan dengan Wahyu Ilahi, sedang yang menerima menggangap filsafat Yunani tetap diperlukan sebagai pembuka jalan. Patristik Yunani disebut juga sebagai filasafat Timur sedangkan Patristik Latin disebut sebagai ilsafat Barat.
b. Abad Pertengahan
Abad Pertengahan ini dimulai pada abad ke-5 M, setelah runtuhnya kerajaan Romawi. Pada Abad Pertengahan ini membawa reputasi yang tidak menguntungkan bagi perkembangan filsafat, hal ini disebabkan karena dominasi yang terlalu kuat dari para rohaniawan. Sehingga segala sesuatu yang bertentangan dengan para rohaniawan ini dianggap sebagai dosa.
c. Jaman Modern
Jaman modren ini ditandai dengan pemberontakan terhadap dominasi kebenaran yang dipegang kaum rohaniawan. Salah satu tonggak penting itu adalah revolusi Copernicus dalam dunia astronomi. Filsafat jaman modern ini bermula dari tahun 1500-1800 M, jaman modren ini diawali oleh masa Renesanse, jaman Barok, dan jaman Romantik.
d. Filsafat Masa Kini
Filsafat pada masa kini merupakan pematangan lebih lanjut dari filsafat pada jaman modern. Filsafat Masa Kini ditandai oleh beberapa gerakan pemikiran yang dapat dibagi dalm filsafat Abad Ke-19 dan Abad ke-20.
Filsafat Abad ke-19 terdiri dari : - Positivisme, - Marxisme, - Pragmatisme.
Filsafat Abad ke-20 terdiri dari : - Neokantianisme, - Fenomenologi, - Eksistensia
Lisme,- strukturalisme.

3. Perbandingan Antara Filsafat Timur Dengan Filsafat Barat
Empat bidang yang menjadi titik pembeda antara filsafat Timur dan filsafat Barat yaitu: pengetahuan, sikap terhadap alam, ideal dan cita-cita hidup, dan status persona. Dalam filsafat Barat, rasio(akal budi) memegang peranan utama, sementara fiilsafat Timur lebih menekankan pada unsur intuisi. Tentang sikap ter
hadap alam, tampak bahwa filsafat Barat bersifat eksplotif, sementara filsafat Timur lebih memandang alam itu pun memiliki jiwa. Bila dilihat dari status persona filsafat Barat memandang manusia sebagai individu yang berhadapan dengan masyarakat, sementara filsafat Timur memandang individu sebagai bagian dari masyarakat. Sekalipun terdapat perbedaan antara filsafat Timur dan filsafat Barat, sesungguhnya keduanya dapat bekerja sama dan saling melengkapi.
Filsafat Timur dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat pun dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas mikrokosmos dan makrokosmos. Tuntutan untuk mengadakan kerjasama semakin urgen saat ini, mengingat proses globalisasi sedang dan akan terus berlangsung sebagai akibat kemajuan teknologi dan komunikasi.

C. Teori Tentang Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku FILSAFAT klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Ada dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sejarawan menempatkan Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penterjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Disamping sebagai penterjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai makalah. Ibnu Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul makalah yang ditulis Al-Kindi dan sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai lagi, karena raib entah kemana. Nama Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin kedalam bahasa Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron dan Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger Bacon.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa Al-Kindi bukanlah seorang filosof sejati. Dr. Ibrahim Madzkour, seorang sarjana filsafat lulusan Peran-cis yang berasal dari Mesir, beranggapan bahwa Al-Kindi lebih tepat dika-tegorikan sebagai seorang ilmuwan (terutama ilmu kedokteran, farmasi dan astronomi) daripada seorang filosof. Hanya saja karena Al-Kindi yang pertama kali menyalin kitab Plato dan Aristoteles kedalam Bahasa Arab, maka ia dianggap sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan filsafat pada Dunia Islam dan kaum Muslimin.
Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa waktu dan benda adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika. Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani.
Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian menjadi buku teks (text book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropah, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul Al-Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth-Ben Daud) di Toledo. Oleh karena Al-Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika dan De Anima.
Ibnu Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian yang bersifat praktis. Bagian yang bersifat teoritis meliputi : matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi : politik dan etika.
Dalam hal logika Ibnu Sina memiliki pandangan serupa dengan para filosof Islam lainnyanya seperti Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd, yang beranggapan bahwa logika adalah alat filsafat, sebagaimana di tuliskan dalam syairnya :
Perlulah manusia mempunyai alat
Pelindung akal dari yang palsu
Imu logika namanya alat
Alat pencapai semua ilmu
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer). Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy yang tinggal pada suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal, kemudian bertemu dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu : komentar besar, komentar menengah dan komentar kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab, Latin dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.

B. Solusi Bagi Kaum Filosuf dan Kaum Tasawuf
Pemaparan diatas menunjukkan kepada kita betapa besar sumbangan peradaban Islam terhadap pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang kita kenal sekarang. Meskipun sampai saat ini masih terdapat kecenderungan untuk menafikan pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene Sedillot, yang menyatakan bahwa sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban umat manusia, hanyalah berupa pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun ditanami.
Tekat mencari kebenaran yang dirintis oleh pemikir Yunani dan hampir padam oleh karena jatuhnya Imperium Romawi, hidup kembali dalam kebudayaan Islam. Wells (1951) menyatakan bahwa jika orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah Bapak Angkat Metode Ilmiah. Metode Ilmiah diperkenalkan ke dunia barat oleh Roger Bacon (1214 – 1294) dan selanjutnya dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561 – 1626).
Semangat para filosof dan ilmuwan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidak lepas dari semangat ajaran Islam, yang menganjurkan para pemeluknya belajar segala hal, sampai ke Negeri Cina sekalipun, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Adapun pertentangan yang terjadi antara kaum filosof dengan kaum tasawuf, mengenai alat yang digunakan dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus berlanjut hingga saat ini, seharusnya dapat dihindari, bilamana kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca otak) dan hati/kalbu. Kedua potensi itu bisa dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah satu potensi lebih berkembang daripada lainnya.
Orang yang sangat berkembang potensi akalnya, sangat senang menggunakan akalnya itu untuk memecahkan sesuatu. Orang demikian ini lebih senang melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam pencarian kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi pemikir atau filosof.
Sementara itu orang yang sangat berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat senang mengeksplorasi perasaannya untuk memecahkan suatu masalah. Orang demikian ini amat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio, untuk menemukan kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi seniman atau ahli tasawuf.
Oleh karena itu seharusnya tidak perlu terjadi pertentangan antara ahli filsafat dan ahli tasawuf, karena keduanya adalah anugerah Tuhan yang seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur. Seharusnya filosof dan ahli tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling melengkapi diantara keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Tufail dalam Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang telah diuraikan sebelumnya sebelumnya.






BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas serta mengacu pada perumusan masalah dan analisis, penulis dapat mengambil sebuah benang merah yang kemudian ditarik menjadi sebuah kesimpulan. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Islam memiliki sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Disamping itu, sebenarnya Islam bukanlah agama yang tertutup sehingga menolak setiap adanya pengaruh yang ada dari luar, akan tetapi Islam adalah agama yang terbuka yang dapat menerima segala pengaryuh dari luar dengan cataan bahwa pengaruh tersebut haruslah bersifat positif. Dalam hubungannya dengan filsafat, Islam memberikan sumbangan berupa pemikiran-pemikiran baru yang dibingkai dengan ajaran wahyu. Sedang dalam hal kaitanya dengan ilmu pengetahuan, banyak ilmuwan-ilmuwan dan pemikir-pemikir Islam yang telah menghasilkan berbagai penemuan yang sangant bergua bagi dunia pendidikan pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
2. Sebagai solusi bagi pertentangan antara kaum filosof dengan kaum tasawuf,
mengenai alat yang digunakan dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus berlanjut hingga saat ini, seharusnya dapat dihindari, bilamana kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca otak) dan hati/kalbu. Kedua potensi itu bisa dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah satu potensi lebih berkembang daripada lainnya.
B. Saran
Mengingat topik pembahasan tentang filsafat adalah topik yang cukup panas dan dapat mengundang pertentangan, maka penulis menyarankan agar para penulis lain dikemudian hari dapat memngulasnya lebih detail dan terperinci serta lebih hati-hati.
Dalam mengulas masalah filsafat lebih jauh, hendaknya kita tidak masuk kedalam pengkotak-kotakan diri kedalam madzab filosof atau madzab tasawuf sehingga memancing permusuhan dan bahkan bisa jadi saling mengkafirkan. Kita harus mennsikapinya secara arif, karena kedua aliran tersebut merupakan anugerah tuhan yang seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur. Seharusnya filosof dan ahli tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling melengkapi



























DAFTAR PUSTAKA





Durant, W. 1933. The Story of Philosophy. Simon and Schuster, New York.

Hoesin, O.A. 1961. Filsafat Islam. Penerbit Bulan Bintang, Djakarta.

Praja, J.S. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Penerbit Teraju, Jakarta

Sarton, G. 1927. Introduction to the History of Science. Baltimore

Suriasumantri, J.S. 2002. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, cetakan ke-15. Pustaka Sinar harapan, Jakarta

Wells, H.G. 1951. The Out Line of History. Cassel and Company, London.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berpendapat

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547