Baru-baru ini KPU sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanan pemilu telah mengeluarkan SK No. 26 tentang Syarat-syarat Kesehatan calon Presiden dan Wapres. Munculnya SK tersebut sebenarnya merupakan pelaksanaan dari perintah UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan UUD 1945. Dalam Pasal 6 Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu syarat menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (wapres) adalah Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Syarat itu kemudian dipertegas dalam Pasal (6) d UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dalam bahasa yang sama mengatakan: capres dan calon wapres harus, mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Masalah muncul saat KPU memilih bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kerja sama ini melahirkan panduan teknis penilaian kesehatan jasmani dan rohani yang melengkapi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Surat Keputusan KPU No 26/2004 tentang tata cara pencalonan pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Langkah KPU melibatkan IDI sebenarnya sudah benar, terutama dari pertimbangan profesionalitas. IDI memang lembaga profesi yang paling tepat dimintakan pendapat berkait dengan persyaratan "mampu secara jasmani dan rohani". KPU sendiri jelas tidak mempunyai kompetensi keilmuan untuk menetapkan apakah seorang capres memenuhi syarat tersebut atau tidak, sehingga keterlibatan IDI sebagi institusi yang paling berkompeten di bidang kesehatan adalah perlu. NamunBagi PKB dan Gus Dur, panduan teknis penilaian kesehatan itu berpotensi "menjegal" kesempatannya menjadi capres. Mereka juga menganggap KPU telah melanggar ketentuan konstitusi dan UU Pilpres yang tidak mensyaratkan ketentuan kesehatan itu.
Bertolak dari polemik inilah tulisan singkat ini akan mencoba mengupas apakah Pasal 4 SK KPU No. 26/2004 bertentangan dengan UU No.23/2003 dan UUD 1945 atau tidak.
Secara yuridis, bunyi Pasal 4 SK KPU No. 26/2004 tidak bertentangan dengan UU No. 23/2003 maupun UUD 1945. Setidaknya ada tiga alasan bahwa Pasal 4 tersebut tidak cacat yuridis. Pertama, sebagaiman diungkapkan Saldi Isra, kalau dibaca dengan cermat SK No 26/2004, tidak ada yang salah dengan syarat mampu secara rohani dan jasmani bagi capres. Pasal 4 huruf d Keputusan No 26/2004 persis sama bunyinya dengan Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 6 huruf d UU No 23/2003, mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam konteks itu, kehadiran Keputusan No 26/2004 adalah melaksanakan syarat mampu secara rohani dan jasmani yang ada dalam UUD 1945 dan UU No 23/2003.
Kedua, KPU memang memiliki kewenangan untuk menentukan persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden sebagimana diatur dalam UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasal 10 huruf b dan huruf f yang menyatakan bahwa KPU berwenang untuk : menetapkan tatacara pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sesuai tahapan yang diatur dalam undang-undang dan meneliti persyaratan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.
Ketiga, keterlibatan IDI dalam penentuan syarat kesehatan jasmani dan rohani bisa dibenarkan secara yuridis karena IDI memang lembaga profesi yang paling tepat dimintakan pendapat berkait dengan persyaratan "mampu secara jasmani dan rohani" dan KPU sendiri tentunya tidak kompeten untuk itu. Disamping itu, penunjukan IDI oleh KPU juga berdasar pada Pasal 1 butir 14 Undang-Undang No 18/2002 tentang IPTEK yang menyatakan bahwa organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah dalam suatu cabang atau lintas disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi, atau suatu bidang kegiatan profesi, yang dijamin oleh negara untuk mengembangkan profesionalisme dan etika profesi dalam masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
* * *
Meskipun secara Yuridis Pasal 4 SK KPU No. 26/2004 tidak bertentangan dengan UU Pilpres dan UUD 1945 namun bukan berarti bahwa SK tersebut tidak memiliki sisi-sisi kekurangan. Banyak ketidak konsistenan yang dibuat oleh KPU dalam SK tersebut. Sebagai contoh, ketika menentukan syarat kesehatan jasmani dan rohani KPU melibatkan institusi IDI, tetapi kenapa ketika menetapkan syarat yang lain terkesan memudahkan standar obyektifnya dan tidak melibatkan institusi yang berkompeten?
Meskipun elaborasi syarat mampu secara rohani dan jasmani adalah untuk melaksanakan perintah UUD 1945 dan UU No 23/2003, inkonsistensi KPU terhadap syarat lain harus dipertanyakan. Mengapa KPU tidak melakukan elaborasi juga terhadap beberapa syarat lain yang terdapat di dalam Pasal 6 UU No 23/2004? Padahal, syarat-syarat itu sama pentingnya dengan syarat mampu secara rohani dan jasmani. Misalnya, syarat tidak pernah mengkhianati negara dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Akhirnya, apa pun keputusan hukum yang diambil KPU itu merupakan hasil yang harus dihormati semua pihak. Sayang, banyak kejadian mencatat politisi kita lebih sering memolitisasi hukum untuk kepentingan kekuasaan daripada menghormati hukum. Apakah kebiasaan itu akan berulang dalam hal persyaratan kemampuan presiden ini, mari kita lihat bersama.
* * *
No comments:
Post a Comment
Silahkan berpendapat