Sunday, July 13, 2008

Posisi Strategis Indonesia dalam Geopolitik Internasional
Oleh: Hanung Hisbullah Hamda

Samuel P. Huntington, seorang pakar politik tersohor Amerika Serikat, pada tahun 1996 sempat menerbitkan sebuah buku berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Di Indonesia, buku ini sempat membuat heboh kalangan Islam radikal gara-gara prediksi Huntington yang menyatakan bahwa Islam, baik sebagai kekuatan politik di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Asia maupun sebagai persekutuan sesama negara-negara Islam, cepat atau lambat akan berpotensi besar menjadi ancaman bagi AS.
Menurut Hendrajit, Direktur Eksekutif Indonesia Future Institute (IFI), pesan tak tertulis dari Huntington sebenarnya cukup jelas; ada semacam kecemasan di alam bawah sadar para penentu kebijakan politik luar negeri dan militer AS atas kemungkinan kebangkitan ekonomi dan militer dari negara-negara “ras kuning” yang berorientasi confusionisme seperti RRC, Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Korea Utara. Pada perkembangannya kemudian akan menjalin persekutuan alamiah dengan negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah dan Asia. Inilah yang sebenarnya hendak diperingatkan oleh Huntington kepada kalangan penentu kebijakan di Washington lewat bukunya yang termasyhur itu. Hal ini terlihat dengan jelas melalui skenario yang digambarkan oleh Huntington mengenai apa yang akan terjadi pada tahun 2010.
Hendrajit menambahkan bahwa dalam bayangan Huntington, pada tahun 2010 akan terjadi suatu polarisasi baru di dalam konstelasi politik internasional yang menghadapkan antara AS dengan RRC sebagai dua sentral kutub kekuatan yang saling bermusuhan dan bersaing memperebutkan pengaruh dan dominasi. Huntington meramalkan bahwa polarisasi tersebut dipicu oleh RRC yang secara tiba-tiba melakukan serbuan militer kepada Vietnam, salah satu negara di kawasan Asia Tenggara berhaluan komunis yang dulunya lebih pro-Uni Soviet dari pada RRC.
Menghadapi serbuan dan invasi militer RRC, Vietnam meminta bantuan AS. Sedangkan di sisi yang lain, menurut Huntington, inilah awal mula terjadinya persekutuan negara-negara ras kuning dan negara-negara Islam untuk bahu-membahu menghadapi AS dan Vietnam. Tentunya AS tidak sendirian, karena kemudian dapat dukungan penuh dari negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur, termasuk Australia dan Rusia. Sedangkan RRC, yang mendapat dukungan dari negara-negara ras kuning seperti Taiwan dan Korea serta beberapa negara-negara Asia Timur, menurut prediksi Huntington, anehnya justru mendapat dukungan juga dari negara-negara Islam yang dimotori Saudi Arabia, Pakistan dan Iran
Meskipun tesis Hutington tidak sepenuhnya benar, namun menariknya, dia memprediksikan Indonesia bakal memiliki posisi strategis dan memiliki “kartu As” yang cukup menguntungkan untuk bermain di antara kubu AS dan kubu RRC. Alasan Huntington, karena Indonesia adalah negara Islam terbesar di Asia Tenggara, tapi mayoritas Islam di Indonesia berhaluan moderat serta memiliki hubungan yang erat, baik dengan RRC atau Jepang.
Berkaitan dengan posisi strategis Indonesia menurut tesis Hutington tersebut, pertanyaan yang akan dicoba dijawab dalam tulisan ini adalah; (1). Bagaimanakah peranan Indonesia dalam menanggulangi konflik politik internasional dewasa ini, terutama dalam konteks perang terhadap terorisme global dan isu nuklir Iran? (2). Dan langkah-langkah apa yang harus diambil Indonesia agar tidak justru terjebak dalam konflik geopolitik internasional?

Posisi Indonesia dan Terorisme Global
Konstelasi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, menempatkan Indonesia menjadi daerah kepentingan bagi negara-negara dari berbagai kawasan. Posisi strategis ini menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan keamanan ditingkat regional dan global menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kondisi Indonesia.
Eksistensi kepentingan negara-negara besar di kawasan nusantara juga mendorong terjalinnya hubungan timbal balik yang erat antara permasalahan dalam negeri dan luar negeri yang memiliki kepentingan bersama. Informasi kejadian di dalam negeri dengan cepat menyebar kesegala penjuru dunia, selanjutnya negara-negara lain akan memberikan responnya sesuai kepentingannya masing-masing. Sebaliknya, informasi kejadian di negara lain, khususnya negara-negara besar dan negara -negara di kawasan ini, dengan cepat mencapai seluruh wilayah, dan mempengaruhi kondisi nasional
Demikian pula halnya dengan isu keamanan, ancaman yang berasal dari luar dan ancaman yang timbul di dalam negeri selalu memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi, sehingga sulit untuk dapat dipisahkan. Kemungkinan ancaman dan gangguan terhadap kepentingan Indonesia, khususnya di bidang pertahanan, di masa mendatang menurut sumber dari Departemen Pertahanan RI ada dalam bentuk terorisme internasional yang memiliki jaringan lintas negara dan timbul di dalam negeri serta kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan barang, senjata, amunisi dan bahan peledak, penyelundupan manusia, narkoba, pencucian uang dan bentuk-bentuk kejahatan terorganisasi lainnya. Di antara kedua ancaman tersebut yang telah terbukti serius mengancam dan mengganggu stabilitas keamanan dan politik Indonesia adalah masalah terorisme internasional. Bom Bali I dan bom Bali II bisa menggambarkan sejauh mana terorisme telah mampu meluluh lantakkan tatanan keamanan, ekonomi, dan tatanan politik Indonesia.
Meskipun dalam berbagai aksi teror yang terjadi di berbagai belahan penjuru dunia oleh Barat nyaris selalu dikaitkan dengan umat muslim, namun dengan merebaknya teror bom di Indonesia menempatkan negara ini di mata Barat sebagai negara korban. Uniknya, Indonesia sebagai korban teror yang mayoritas penduduknya muslim dianggap sebagai mitra Barat dalam memerangi terorisme global. Namun di sisi yang lain, Indonesia juga memiliki kedekatan emosional dengan negara-negara muslim radikal semacam Irak, Iran, dan Afghanistan yang selama ini dicap Barat sebagai sponsor utama terorisme. Kondisi yang unik tersebut menjadikan Indonesia berada dalam posisi yang cukup strategis dan diharapkan mampu menjadi penengah antara pihak Barat dan pihak negara-negara muslim yang dianggap sebagai sponsor terorisme global.
Posisi strategis ini diperkuat dengan fakta bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia diidentikkan dengan islam moderat, sehingga oleh Barat dianggap sebagai Islam yang “bersahabat” dan mau diajak bekerja sama. Kemudian di pihak negara-negara muslim –khususnya Timur Tengah- diakui pula bahwa Indonesia sebagai negara muslim memiliki peranan dan kedudukan strategis dalam beberapa organisasi multilateral. Keterlibatan Indonesia dalam OKI, ASEAN, APEC, dan Konferensi Asia Afrika secara tidak langsung juga mempertinggi posisi tawar Indonesia baik di mata Barat maupun negara-negara Islam di Timur Tengah.
Sayangnya posisi strategis tersebut oleh Indonesia belum dimaksimalkan dengan lebih berperan dalam menciptakan perdamaian dan keamanan global. Dalam menghadapi terorisme global saja, meskipun berusaha bersikap bijak tetapi Indonesia cenderung mengekor kemauan Barat. Perspektif yang digunakan Indonesia untuk menentukan siapa teroris dan siapa bukan teroris adalah perspektif Barat, sehingga pada praktiknya banyak kebijakan berkaitan isu terorisme dari pemerintah Indonesia yang ditentang oleh warga negaranya sendiri yang beragama Islam dan tentunya juga oleh negara-negara yang dicap sebagai sponsor terorisme. Kondisi seperti ini tentunya tidak menguntungkan bagi Indonesia karena bukan keamanan dan kedamaian yang didapat tetapi kebijakan yang salah dalam menentukan siapa teroris dan siapa bukan teroris justru akan mematik amarah.

Isu Nuklir Iran dan Sikap Indonesia
Dalam mensikapi isu nuklir iran, oleh beberapa pengamat hubungan internasional, Indonesia dinilai lebih mampu memaksimalkan peran strategisnya sebagai negara netral serta lebih tegas dalam bersikap dibandingkan ketika mensikapi isu terorisme global. Mengenai peran strategis yang bisa dimainkan Indonesia , salah satu faktor penguatnya adalah antara Indonesia dan Iran memiliki spirit yang sama sebagai negara dengan mayoritas penduduk pemeluk Islam. Dengan posisi itu, termasuk dengan spirit politik luar negeri yang bebas-aktif, anggota Non-Blok dan juga OKI, pihak AS dan sekutunya bisa melihat posisi Indonesia yang cukup netral.
Adalah sebuah langkah yang patut diacungi jempol ketika Presiden Yudhoyono memanggil para duta besar negara yang menjadi representasi para pihak yang terkait dengan krisis nuklir Iran untuk menjelaskan sikap dan posisi Indonesia dalam menaggapi krisis nuklir tersebut. Mereka yang hadir antara lain Duta Besar Prancis untuk RI, Renauld Vignal, Dubes Jerman Joachim Droudre Grouger, Dubes Inggris Charles Humfrey dan Dubes Austria Bernard Zimburg, Dubes Rusia untuk RI, George Savuica, Dubes Amerika Serikat Lynd B.Pascoe, dan Dubes RRC untuk RI, Lan Lijun.
Dengan tegas Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, mendorong para pihak yang terkait masalah ini, untuk memaksimalkan upaya perundingan masalah nuklir Iran ini, khususnya kepada Iran dan tiga negara anggota Uni Eropa, yakni Inggris, Prancis dan Jerman. Wirajuda menegaskan bahwa Pemerintah RI tidak ingin negara-negara barat tergesa-gesa menyimpulkan bahwa proses perundingan tentang masalah ini sudah buntu kemudian menyerahkannya kepada dewan Keamanan PBB.
Masalahnya, AS dan Uni Eropa masih curiga Iran melanggar perjanjian larangan penyebarluasan nuklir atau Traktat Non-Proliferasi Nuklir, dengan memiliki program rahasia pengembangan senjata nuklir Sudah final bagi Barat untuk menolak mempercayai apa pun argumentasi Teheran.
Anggota DK PBB plus Jerman, dalam pertemuan di New York, gagal menyamakan sikap soal cara menangani krisis nuklir Iran meskipun AS terus mendesak disepakatinya resolusi berdasar Pasal 7 Piagam PBB, yang mengesahkan sanksi atau penggunaan kekuatan militer. Rusia dan China menolak karena khawatir resolusi seperti itu akan mengarah pada perang.
Karena konstelasi permasalahan sudah berkembang seperti itu, Indonesia harus taktis mencari posisi, agar persahabatan dengan kedua belah pihak yang bertikai tetap terjaga. Untuk berbagai kepentingan nasional, Indonesia memerlukan terpeliharanya hubungan yang baik dengan Iran dan AS serta sekutu-sekutunya. Karena itu, penting bagi Indonesia untuk menjelaskan kepada Barat tentang latar belakang sikap yang diambil dalam kasus program nuklir Iran.
Indonesia berharap tawaran Rusia tersebut diterima sebagai solusi damai dalam masalah pengayaan uranium oleh Iran. Dalam pertemuan antara Dubes Iran dan Presiden RI, kata Hassan, Presiden kembali mengharapkan agar ada penyelesaian secara damai tentang kasus nuklir di negeri para mullah tersebut. Presiden mengharapkan adanya kerjasama Iran dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA/International Atomic Energy Agency) dan Iran mempertimbangkan dengan seksama tawaran Rusia untuk memproses pengayaan uranium di Rusia dan selanjutnya digunakan sebagai bahan baku energi nuklir di Iran. Presiden juga menginginkan adanya informasi terus-menerus mengenai perkembangan di Iran dari pihak-pihak terkait termasuk dari pemerintahan Iran.

Langkah Indonesia Ke Depan
Untuk mengantisipasi agar Indonesia ke depan tidak ikut terjebak dalam konflik geopolitik internasional, tentunya Indonesia dituntut untuk merencanakan dan mengevaluasi kembali posisinya dalam percaturan politik internasional dewasa ini. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari segala macam konflik geopolitik internasional yang mengarah kepada penghancuran Human Civilizations dan Nation Relationship melalui isu terror yang berkepanjangan.
Setidaknya ada 4 langkah yang perlu untuk segera ditempuh pemerintah guna mensiasati instabilitas politik dunia oleh global chaos yang semakin memperihatinkan. Pertama, perlu mengevaluasi kembali kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap suatu negara, melalui pembobotan skala perioritas, apakah suatu Negara dianggap cukup strategis dan menguntungkan bagi kepentingan Indonesia. Indonesia perlu mengurangi perwakilan Indonesia di luar negeri dan menurunkan derajat hubungan diplomatik setingkat Konsul Jenderal atau Konsul kehormatan, apabila negara yang bersangkutan dianggap kurang memberikan imbal balik yang positif.
Kedua, memperkokoh stabilitas keamanan dalam negeri dan stabilitas politik domestik, dengan mempersempit dan menghancurkan ruang gerak segala bentuk tindakan kriminal, anarkis dan pergerakan vandalism yang mengatasnamakan agama, lalu sebisa mungkin membuka berbagai ruang diskusi yang cerdas, demokratis dan terbuka agar masyarakat tidak mudah disesatkan oleh propaganda asing yang belum tentu benar.
Ketiga, memperkuat kerjasama Ekonomi dan Keamanan regional dengan Negara-negara ASEAN, agar tercipta zona stabilisasi dan kondusif ASEAN, untuk merangsang gairah investasi ke daerah ini. Percepatan pertumbuhan Ekonomi wilayah ASEAN akan turut menyumbang pertumbuhan Ekonomi domestik. Zona Aman ASEAN juga diintensifkan untuk menopang sekaligus mempercepat penyelesaian konflik local di Aceh, Ambon, Maluku dan Papua, guna menutup ruang gerak para pengacau yang selama ini masuk melalui pintu gerbang Negara-negara ASEAN.
Keempat, Indonesia harus lebih berperan aktif dan meningkatkan posisi tawarnya di berbagai forum kerja sama internasional seperti di forum PBB, KAA, OKI, APEC, dan organisasi multilateral lain yang diikuti Indonesia.. Kemudian dalam kerjasama multilateral dan politik internasional Indonesia jangan terpancing oleh berbagai intimidasi, intervensi, rayuan dan terlibat dalam konflik internasional yang justru akan menyulitkan posisi tawar Indonesia dikemudian hari. Dalam menanggapi isu-isu global yang sensitif -seperti isu terorisme, isu nuklir Iran, dan isu nuklir Korea Utara- Indonesia harus mulai membatasi dan memposisikan diri. Ketegasan diplomasi yang efektif diperlukan guna menempatkan Indonesia dalam kerangka hubungan antar negara yang cinta damai, saling menghormati dan saling menguntungkan, tanpa harus terpancing untuk melibatkan diri lebih jauh dalam urusan negara lain.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berpendapat

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=167022424766684&id=100043767822547